Klik ini untuk halaman yang tidak dibagi-bagi ISI • Halaman 1 / 5 Sesuai aslinya bila di baca dengan Netscape 4.x
Program Kerja Harus Jelas* Hak Indonesia Untuk Berperan Perlu Merasakan Suka-Dukanya Indonesia Di Mata Dunia * Rakyat Yakin Dengan Pimpinan Yang Mengalami Apa Yang Mereka Alami * Ucapan PejabatUntuk Luar Negeri * Perlu Promosi Diri * Akibat Rendah Diri * Barat Menguasai Media Masa* Meningkatkan Kemampuan Kita Riwayat Hidup Penulis * Bersambung halaman 2 |
|
|
|
|
Program Kerja Indonesia Baru dimaksud untuk menjawab berbagai
masalah yang sedang dialami Negara kita, langkah-langkah apa yang kira-kira
perlu di adakan untuk menjawab – dan menyelesaikan – masalah-masalah tersebut,
dan atas dasar pengalaman apa?
Apakah ini “teori” (pengamatan) atau berdasarkan “jam terbang” (pengalaman lapangan) yang nyata yang mengenal “ranjau-ranjau lapangan”? Program ini bermaksud untuk mengisi dan mendukung Program Kerja Pemerintahan Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri dengan berbagai pertimbangan yang didasarkan pengalaman kerja penulis berusia 58 tahun yang usianya tidak jauh beda dengan usia Gus Dur. Prinsip Sederhana: “Keadilan Yang Sama” Konsep Kerja Indonesia Baru didasarkan prinsip sederhana. Prinsip ini berlaku untuk semua kegiatan sehari-hari – apapun bidangnya – yang dilakukan oleh masyarakat biasa dan para penguasa. Yaitu: “diterima atau tidak bila perlakuan yang sama juga dialami mereka yang mengeluarkan bijakan, peraturan & hukum” (kita sebagai penguasa, pejabat pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR bisa terima atau tidak, apabila kita mengalami perlakuan yang ditetapkan penguasa kepada diri kita). Bila tidak, sudah saatnya kebijakan, peraturan dan hukum dan perlakuan tersebut perlu dirobah dan diganti. Pejabat Pemerintah tidak menyadari bahwa kenaikan harga BBM dari Rp 1.000 menjadi Rp 1500 seperti yang pernah terjadi beberapa tahun silam adalah beban luar biasa besarnya. Kenapa mereka tidak merasakan? Karena pejabat yang menentukan kebijakan dan peraturan lain (dalam hal ini pejabat echelon tinggi, bukan pelaksana lapangan), tidak pernah kena ujung dan akibat peraturan mereka. Kenapa? Karena pejabat penentu tersebut mendapat “tunjangan” ini dan “tunjungan” itu. Pejabat tingkat rendah dengan tanggungan 3 anak umpamanya mendapat tunjangan beras 50 kilo, tapi pejabat tinggi mendapat lebih. Kenapa ada perbedaan? Apa bedanya antara keluarga 5 orang tingkat jabatan rendah dengan keluarga pejabat tingkat tinggi dengan 5 orang? Pola dan cara berpikir semacam ini harus hihilangkan supaya para pejabat tinggi, termasuk pimpinan negara, benar-benar menyadari dan merasakan bagaimana orang kecil harus menanggung akibat kebijakan mereka. Pada prinsip-prinsip yang mengalir pada program kerja ini, pelaksanaan lapangan perlu mematok pada prinsip yang hendak ditegakkan. Pada prinsip “keadilan yang sama” misalnya, pelaksanaan lapangan adalah hasil nyata pada “keadilan yang sama”. Bukan berbagai macam kebijakan, peraturan dan teori yang tidak memuwujudkan “keadilan yang sama” di lapangan. Negara yang benar-benar menjadi makmur – dan ini adalah sasaran kita semua – dilandasi perlakuan adil bagi mereka yang menyusun peraturan dan hukum, dan bagi mereka yang menerima hukum dan peraturan ini. Pengalaman 36 tahun jam terbang di lapangan nasional dan internasional yang mengenal “ranjau-ranjau lapangan”, dimulai dari awal tahun 1964 dibidang asuransi di Lloyds, perusahaan asuransi tertua dunia bermarkas di London, sebagai wartawan berbahasa Inggeris di sebuah kantor berita pers bermarkas di London yang kini terbesar di dunia, di kantor berita nasional Perancis Agence-France Presse (AFP) di Paris, saat itu nomor 3 terbesar dunia, dan di Antara Kantor Berita Nasional sebagai asisten redaktur berbahasa Inggeris di kantor pusat luar negeri saat itu di Koln, German Barat sebelum meledaknya G-30S. Sejak 1970 penulis berperan sebagai pialang (stock broker) untuk perusahaan-perusahaan bermarkas di Amerika dan Swiss dan mengenal peredaran dan peranan keuangan/dana di sebuah ekonomi; pendiri perusahaan di Jakarta 1972; asisten dosen/guru pendidikan di Universitas Indonesia., dosen/guru bahasa dan protokol negara sebagai Pembantu Staf Ahli Menteri Sekneg bertugas di Sekretariat Wakil Presiden jamannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX; ikut menyusun organisasi (kompartemen) di Kadin; pengusaha/suplier dan penyusun berbagai program bidang frekwensi untuk Departemen Hankam; memasang jaringan sarana komunikasi radio nasional dari Sabang s/d Merauke di 1,700 lokasi lebih untuk Hankam/Polri yang kemudian digunakan untuk Pemilu; mengadakan investasi dengan dana pribadi untuk keperluan Sekneg/Tamu Negara, dan pada tahun 1986 mengonsep pola pembangunan untuk 140 juta masyarakat melalui “telpon murah masuk desa” yang penjelasannya diminta secara formal oleh Pemerintah pada tahun 1988 setelah 2 tahun melobi untuk dapat diterima di Indonesia. Setelah penjelasan formal selama 55 menit dan tanya-jawab selama 4.5 jam di hadapan 115 pejabat teras dipandu Sekjen Parpostel dari 3 departemen & 3 BUMN, konsep tersebut diadopsi oleh Pemerintah pada tahun 1988 dengan dikeluarkan surat “percobaan” dengan istilah Pola Bagi Hasil (PBH) dan berbagai nama lain, antaranya KSO dan BOT yang menggunakan prinsip inti PBH, yaitu kerjasama & pembagian untung dilingkungan monopoli pemerintah. Dari konsep PBH tersebut lahir berbagai usaha yang dimiliki pengusaha-pengusaha lain di bidang telekom bergerak & genggam (Satelindo, Telkomsel, Excelcom dan lain-lain), televisi swasta (RCTI, SCTV dll.), jalan tol, perlistrikan, dll. Pada tahun 1994, penulis melobi supaya prinsip PBH dibubarkan dan diadakan saingan bebas di Telkom, yaitu adanya tarif yang berbeda. Karena usaha “telepon masuk desa” menggunakan teknologi paling canggih yang ada berupa sistim wireless digital yang akan menyentuh langsung 140 juta manusia tersebut, penulis selama 12 tahun dari tahun 1988 s/d 1999 didatangi oleh ± 2.300 (dua ribu tiga ratus orang) dari berbagai penjurus dunia bergerak dibidang pendanaan proyek besar. Diantaranya 1.500 orang asing mewakili para pendana, pengacara dana, akuntan publik, pejabat bank dan para konsultan keuangan semua dari berbagai negara asing, yang memberi petunjuk cara-cara mendanai proyek sebesar US$ 150 milyar ini (investasi tiap SST digital wireless adalah US$2,000). Sekalipun penulis berhasil dengan pendana multi-nasional terkenal dan terbesar di dunia dibidangnya yang menyediakan 100% dari usaha $7 milyar dengan saham 60% (dibiayai seratus persen oleh mitra asing, tapi mitra Indonesia diberi saham mayoritas sebesar 60%) yang telah masuk ke BKPM, keadaan di Order Baru saat itu merusak usaha ini karena “unsur yang berkuasa” memaksa pengambilan alih usaha ini. Karena berbagai kepentingan di Indonesia yang sedang berjalan, pendana tunduk kepada permintaan unsur penguasa tersebut setelah mendapat persetujuan tertulis dari mitranya. Dana besar dapat masuk lagi dari berbagai sumber lain, asal keadaan di Indonesia bersih dari korupsi yang menjuluki Indonesia sebagai negara nomor “3 terkorup” dari 235 negara dunia. Tidak ada pihak manapun, baik orang asing atau orang kita di luar dan dalam negeri, yang bersedia mengganti dana yang dikorupsi dan perkaya pihak lain yang menyimpan dana hasil korupsi tersebut di luar negeri. Seperti tidak ada orang yang bersedia mengganti uang untuk keperluan “A” yang dicuri si “B”, diganti, dicuri lagi dari “A”, dan diganti lagi tanpa si “B” ditangkap dan diadili terlebih dahulu, sekalipun si “A” yang berhak atas dana tersebut sedang menderita. Di satu sisi banyak pihak yang bersedia membantu kita keluar dari keadaan terpuruk ini, tapi di sisi lain yang mampu membantu tidak ingin uangnya di grogoti begitu saja karena korupsi luar biasa di Indonesia yang memperkaya orang lain yang tidak berhak. Penulis berpengalaman sebagai seorang field operative (pelaksana lapangan) seperti cerita fiksi James Bond dengan, antara lain, “menculik” seorang ilmuwan penting Jerman dari Berlin Timur dipertengahan 1964an di tengah perang dingin antara Blok Barat dan Blok Eropa Timur/Uni Soviet karena diperlukan oleh dua negara barat, dan membawanya ke Jerman Barat setelah gagal 3 kali oleh para operator barat lain. Ia merobah cara operasional mereka karena kegagalan ini. Pada pelaksanaan yang dilakukan sendiri dengan diamati dan dibantu dari jarak jauh, ia melawan dinas intel militer nomor dua terbesar dunia dengan negara satelitnya, memasuki daerah negara Komunis yang tidak dikenal, penuh kecurigaan dan pengintaian, serta pemeriksaan fisik secara berkala kepada semua orang karena dekat perbatasan Berlin Timur & Berlin Barat, dan berhasil pada operasi tersebut dengan segala risiko mempertaruhkan nyawa dan hubungan baik Indonesia dengan negara2 tersebut karena ilmuwannya diculik. Ia sempat ditegur 6 tahun kemudian di tahun 1970 oleh Duta Besar Rusmin Nurjadin karena laporan2 yang masuk ke KBRI London saat itu. Di Indonesia ia mengalami pelanggaran HAM terhadap dirinya oleh aparat penjunjung undang-undang Negara; mengalami pemalsuan dokumen BAP yang disodorkan oleh unsur aparat mabes tingkat Lt.Kol., paksaan menandatangani BAP palsu yang disusun oleh unsur aparat mabes karena perwira wanita tingkat Kaptain menyandra istri, pemeriksaan oleh seorang Lt.Kol. yang ternyata kemudian adalah saudara sepupu sendiri, dengan atasan seorang jendral nomor 5 di urutan pimpinan nasional aparat tersebut yang ternyata kakak sendiri yang darahnya sama dengan darah penulis. Penulis juga merasakan kecurangan dan ketidakadilan di jaringan peradilan saat kediamannya seluas 2.200m2 di jalan raya arteri di Jakarta selatan dirampas karena kredit bank palsu yang tidak pernah diminta penulis, kredit diadakan tanpa tandatangan penulis yang jelas tindak pidana yang dilakukan oleh lawan dan diperkuat oleh hakim kotor (bukan semua hakim kotor yang di alami juga oleh penulis), dan sidang2 yang terang-terangan dikendalikan oleh uang lawan, dan karena pembiayaan ONH kepada hakim dan keluarganya. Penulis juga mengalami meninggalnya seorang putra bungsu berusia 25 tahun pada tahun 1999 yang bukan lagi seorang anak, melainkan seorang teman karena anak itu mengalami keluarganya diperlakukan tidak adil dan mengalami rumah keluarga anak ini diambil secara paksa sehingga ia terkena tekanan mental dan stres berat ia terjerumus ke “narkoba”. Sebagai seorang bapak/ayah, penulis merasakan hancurnya seorang tua karena narkoba yang anak ini berulang-kali berhasil melepas ketergantungan selama bertahun-tahun, ia tetap di hantui dan dikejar oleh lingkungannya sehingga ia meninggal, karena aparat tidak mampu membersihkan – dan juga terlibat penjualan – kotoran ini. Walau banyak orang mengatakan ini adalah “takdir” Tuhan, penulis tidak bersedia menerima begitu saja tanpa ada hikmah yang berguna, bukan saja bagi seorang ayah yang anaknya meninggal, tapi juga untuk banyak orang lain yang mengalami perlakuan dan nasib yang sama. Merangkum semua pengalaman lapangan ini, termasuk penyerahan laporan formal serta bukti-bukti kepada POM ABRI atas pelanggaran hukum Negara oleh unsur ABRI tersebut diatas tanpa ada lanjutannya, penulis tidak bisa bayangkan dan sangat prihatin nasib masyarakat biasa yang mengalami pelanggaran terhadap HAMnya dan perlakuan curang lain yang tidak adil karena tidak ada kenalan dan hubungan “atas”. Penulis cukup dewasa dan menyadari bahwa tidak ada faktor “balas dendam”. Melainkan di buat sadar oleh pengalaman-pengalaman ini bahwa yang punya hubungan luas serta keluarga dekat dan jauh di hampir semua tingkat pemerintahan Orla, Orba dan Habibie, dari wakil lurah di Gunung Kidul s/d dua mantan presiden, diperlakukan semacam ini. Bagaimana bagi mereka yang tidak ada teman atau kenalan? Karena pengalaman lapangan, keberanian melawan unsur intel militer nomor dua terbesar dunia, mengalami perampasan HAM, kecurangan dan ketidakadilan yang juga mengakibatkan meninggalnya seorang putra yang disayang, ia bertekad untuk membersihkan segala kotoran yang ada di negeri tercinta kita ini bila mendapat kesempatan untuk melakukan ini. Tidak ada pengalaman yang menyamai pengalaman nyata yang memacu seseorang karena menyangkut darah daging sendiri. Tidak ada pengalaman, kecuali pengalaman nyata, yang sungguh2 memberi motivasi kepada seseorang yang pernah mengalami ketidak adilan ini demi keadilan jutaan orang lain. Tanpa ada pengalaman semacam ini, seorang pimpinan, termasuk para pimpinan sekarang, tidak akan bertindak. Dan apabila ia bertindak, tidak akan dengan sungguh-sungguh dan dengan keyakinan kotoran ini harus dibersihkan karena ia tidak/belum mengalami kotoran/pelanggaran HAM dan kecurangan ini langsung kepada dirinya. Akibat tidak ada kesungguhan ini akan berdampak jauh sampai dapat merontokkan Negara R.I. hanya karena untuk kepentingan – dan pembelaan – segelintir dan sekelompok manusia saja yang tidak pantas untuk dibela dan tidak pantas untuk dipertahankan. Keadilan Yang Sama Program kerja Indonesia Baru ini, didasarkan sikap “keadilan yang sama” bagi semua orang. Mulai dari masalah kecil seperti dikenakan “pajak fiskal” (exit tax) yang berlaku bagi semua orang biasa tapi tidak berlaku untuk pejabat yang bertugas di luar negeri, masalah orang biasa dikenakan tilang karena melanggar peraturan lalu lintas tapi tidak menilang seorang jendral polisi karena yang melanggar adalah atasan petugas polisi, sampai dengan masalah-masalah besar yang dapat meruntuhkan Negara R.I. seperti tidak ada penyelesaian masalah politik, serta pelanggaran adat di berbagai daerah yang tidak kunjung selesai, terutama uang milik Negara yang dicuri dengan berbagai cara yang dijadikan “legal”. Sikap membedakan lapisan masyarakat dengan lapisan lain dengan “prioritas” kepada pemerintah/pejabat menuju kepada sikap kebal peraturan, dan kemudian menuju kepada kebal hukum untuk pejabat negara dan teman-temannya (kroni-kroninya). Ini adalah suatu de facto/kenyataan di lapangan walau secara formal dan de jure tidak ada kebijakan resmi oleh instansi pemerintah tersebut mengenai kekebalan ini. Tugas orang/masyarakat biasa tidak kalah pentingnya tugas seorang pejabat, sebab di negara yang kaya dan makmur – dan ini adalah tujuan Negara Indonesia – kekayaan negara diperoleh dari rakyatnya, bukan dari pejabatnya. Pejabat tidak membawa uang kedalam kantong rakyat yang dinikmati rakyat; hanya mengatur negara supaya rakyat bisa menikmati kehidupan yang dihasilkan oleh rakyat sendiri. Bagi rakyat biasa, keadilan dan hasil nyata keadilan ini diperlukan. Bukan “teori” dan tidak adanya pelaksanaan teori ini yang kini memacu berbagai daerah untuk misah diri dari Republik. Mengenai “Peningkatan TNI Menjadi 2.1 Juta Personil” dari sekarang sekitar 450-500.000 orang, para pimpinan TNI perlu melihat ke “luar negeri” menjaga kedaulatan Negara & Wilayahnya dan menghilangkan menengok “dalam negeri” (dwi fungsi) – walau sebagian besar masyarakat kita masih trauma besar dengan pengalaman negatif dengan ABRI. Indonesia sebagai negara nomor 4 terbesar dunia, memerlukan angkatan bersenjata yang kuat karena kemampuan fisik menjaga dan mempertahankan kepentingan bangsa. Ini alasan utama. Alasan berikutnya adalah keyakinan bahwa sebagian besar/mayoritas anggota TNI tidak merestui dan tidak menyetujui unsurnya menembaki bangsanya sendiri karena keyakinan bahwa bila saudara kandungnya sendiri diperlakukan demikian, anggota TNI ini pun tidak akan menerimanya. Lagipula, para pimpinan TNI telah berulang kali sekolah dan pendidikan yang diterimanya membuat mereka lebih berintelektual, pintar dan karenanya tidak akan cendrung main hakim sendiri karena kesadaran bahwa hal ini bisa berbalik bagi dirinya. Para pimpinan yang tidak yakin atas sikap ini, perlu merasakan terlebih dahulu bagaimana perasaan mereka yang kehilangan saudara, isteri, adik dan saudara lain di Aceh dan daerah lain di Indonesia. Sikap mereka terhadap orang lain pasti berobah, bila mereka pernah mengalami sendiri. Mental prajurit/pelaksana lapangan perlu diperkuat dan dibenahi bahwa senjatanya bukan untuk menembaki orang yang tidak bersenjata, seperti mental seorang karateka yang benar, tidak mencari perkelahian karena kemampuannya mengalahkan beberapa orang secara sekaligus. Anggota militer dapat disamakan dengan anggota keluarga kita terdiri dari bapak, ibu dan 3 anak. Bila salah satu anak itu melanggar hukum dan melanggar kesopanan moral kepada anggota keluarganya sampai memalukan keluarga tersebut dihadapan masyarakat (dihadapan bangsa sendiri dan bangsa luar), anak bersalah di keluarga tersebut dihukum. Bukan berarti bapak, ibu dan anak-anak lain itu jahat. Diangkat pada tingkat nasional yang lebih luas dan memberi analogi kepada mereka yang ingin misah diri dari Republik, anak lain di keluarga itu yang ingin berpisah dari ayah, ibu dan saudara kandungnya (ibarat bangsa Indonesia) karena kesalahan saudara kandungnya adalah anak yang tidak baik karena tidak menaruh kesalahan pada tempatnya. Apabila perlakuan sewena-wena masih tetap berlangsung di Negara tercinta kita, mungkin ada baiknya rakyat biasa lewat DPR/MPR kita mengamendemen Konstitusi ‘45 dan mengadopsi sikap para pendiri negara Amerika Serikat. Yaitu tiap warga negaranya mempunyai hak dasar memegang senjata yang ditetapkan di dalam konstitusinya demi menjaga hak rakyat terhadap perlakuan sewena-wena. Pandangan bahwa orang Amerika “beda” dengan orang Indonesia karena kebudayaan, sejarah dan lain sebagainya, tidak kena. Orang di sana sama saja sikap kemanusiannya dengan orang Indonesia. Mereka tidak suka apabila sembarangan ditampar; orang kita-pun sama. Dana yang diadakan untuk proyek telkom besar tersebut dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat biasa, dapat pula diadakan untuk TNI dengan berbagai macam cara, untuk membangun armada laut & armada lain, sarana telekomunikasi satelit dunia yang memungkinkan prajurit kita berkomunikasi dengan siapapun di seluruh dunia, apalagi di wilayah Indonesia dan disebrang bukit; pembangunan pabrik-pabrik senjata serta keperluan-keperluan lain yang menunjang angkatan bersenjata TNI yang tidak akan kalah dengan angkatan bersenjata manapun, dengan atau tanpa persetujuan negara asing manapun, termasuk IMF. (Dana ini tidak ada hubungan dan bukan dana “ribuan trilyun” gambar Soeharto yang kini tidak masuk di sistim peredaran keuangan negara dan tersimpan di berbagai tempat). Baru dapat wujud Indonesia yang makmur. |
Halaman 3 | Halaman 4 | Halaman 5 |
Lahir : Jakarta, 28 Desember, 1941 (58 tahun pada bulan Des.) Alamat : Jalan Gabus No. 36 Kavling 5, Arteri T.B. Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta 12520 Alamat E-Mail: suryo@email.com Alamat Internet Web Page Keluarga (Personal Web Page): http://come.to/suryo Alamat Faksimili: 62-21-7883-1310
Di Roma, Italia, awal tahun 1950-53 Di Canada tahun 1953-57 Di Jakarta tahun 1957 Di Roma, Italia, tahun 1957 Di Amerika, sebagai penerima bea siswa Fulbright* untuk sosial-politik s/d 1964 Di London, journalistis tahun 1964. (Foto kanan Juli, 1999) Pengalaman Kerja 35 tahun, 1964-1999
(Foto kanan dengan cucu ke-3, Samudra, di N.Y., Agustus, 1999).
Wartawan berbahasa Inggeris di Kantor Berita Nasional ANTARA, Koln, Jerman Barat 1965-68 Pialang & stock broker Pengusaha pialang stock broker Amerika di Jerman, Swiss dan di Tehran 1969 Pengusaha pialang & asuransi di Jakarta 1969-71Pendiri Usaha
Pembantu, Staf Ahli Mensesneg, Sekretariat Wakil Presiden 1978-80, diantaranya sebagai staf pengajar/dosen bahasa.
Tiap 1 SST akan dipergunakan oleh minimum 2 orang. Menyentuh langsung ± 60 juta orang dengan potensi mengembangkan diri bagi tiap orang. Sarana ini akan permudah penjualan hasil panen/hasil usahanya secara langsung ke pasarnya di sesama desa di daerah lain, di kota besar, dan langsung ke pasaran internasional. Biaya investasi US$ 62 milyar dalam 20 tahun. Meningkatkan kemampuan untuk mensejahterakan diri di tiap lingkungan melalui peningkatan keadaan ekonomi di lingkungannya. Menciptakan lapangan kerja di pedasaan. Memperlancar sarana komunikasi pemerintahan pusat ke tingkat I & II, dan sebaliknya.
Melobi pemerintah R.I. supaya konsep partisipasi swasta di terima 1986-1988. Mendapat berbagai dukungan resmi/tertulis dari berbagai perusahaan multi-nasional di bidang telekomunikasi dengan konsep PBH 1988-1999.
Undangan resmi Sekjen Parpostel tgl. 8 Agustus, 1988 No. PB.103/2/3/.PTT meminta penjelasan konsep PBH. Presentasi resmi selama 55 menit tgl. 26 Agustus 1988 di pandu oleh Sekjen Dep. Parpostel & dihadiri oleh 115 pejabat teras (Irjen & para direktur instansi) yang mendaftar dari 3 BUMN, Bappenas, Dep. Industri dan Parpostel, dan tanja-jawab selama 3.5 jam, seluruhnya 4.5 jam,
Supaya biaya pemasangan & tarif sarana telekomunikasi dan tarif pulsanya di sesuaikan dengan kemampuan daya beli rakyat.
Satu dari 3 pendiri yaitu Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pemegang saham sebesar 10% PT Cellfone Nusantara, menyatakan keluar dari lingkup perusahaan tahun 1996 (terlaksana 1997), dan saham sebesar 90% di ambil alih oleh Yayasan Suryo-di-Puro. Peranan Yayasan tersebut mendorong pejabat pemerintah R.I. untuk memperhatikan dan mengadopsi konsep PBH yang menghasilkan usaha-usaha bidang lain yang dimonopoli pemerintah (dasar usaha lain di bidang TV, komunikasi seluler, jalan tol, perlistrikan, dll.).
Pejabat teras yang mendukung program kerja adalah Lt. Jen Hendro Priyono saat ia menjabat di Bina Graha Okt. 1998.
Tahun 1998 pendana internasional murni, dan berbagai perusahaan multi-nasional, diantaranya Lucent Technologies Pusat USA (bukan Lucent di Indonesia) dari Amerika Serikat, menandatangani kerjasama notariel dengan Yayasan Suryo-di-Puro diwakili pemegang saham mayoritas/pemilik Lucent dimana Lucent Pusat akan memasukan investasi sebesar US$ 7 milyar, dengan tahapan pertama sebesar US$ 1,25 milyar yang permohonannya dimasukan ke dalam BKPM. Lucent, dahulu bernama Western Electric, dan kemudian AT&T Laboratories, adalah perusahaan tertua dan terbesar dunia bidang ristek & teknologi berusia 130 tahun, dahulu bagian dari perusahaan telekomunikasi terbesar dunia AT&T dan mendapat 8 hadiah Nobel bidang teknologi, telah mendemonstrasikan teknologi ISDN canggih tanpa kabel di Telkom Surabaya selama 3 bulan bersama kami sebagai mitra usahanya yang direncanakan untuk pemasangan di seluruh Indonesia.
Usaha patungan ini merencanakan subsidi proyek
selama 10 tahun agar pemakai di desa tetap
Putra mantan presiden kemudian ikut campur, kami
melepas peranan ini, dan Lucent pindah ke putra tersebut berdasarkan kesepakatan
dan persetujuan tertulis kami sebagai pihak yang dimodali Lucent. Perusahaan
multinasional tidak rela di dikte. Karena berbagai kepentingan di Indonesia
yang telah beroperasi (mis. pabrik sentral otomat AT&T di Krawang),
mereka tunduk kepada keluarga presiden. Putra tersebut kemudian diharuskan
membayar saham 30% secara tunai oleh Lucent, dan sisa 70% oleh Lucent.
Usaha US$ 7 milyar gagal 6 bulan kemudian dan tidak dapat dilanjutkan karena
setoran modal tunai yang diminta tidak dapat diadakan oleh putra presidentersebut.
Sebelumnya, kami (Yayasan Suryo-di-Puro) mendapat saham 60%, dibiayai
100% oleh Lucent.
PBH diakui oleh
Bank Dunia bulan
Juni 1997 di kutip dari berbagai media massa internasional, termasuk The
Jakarta Post “...perkembangan dunia telekomunikasi di daerah
Asia menjadi pesat berkat adanya pola bagi hasil ...”, sebagai
sarana yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi Asia, “...
jauh diatas investasi di bidang manapun ...”.
Pemilik dana international yang berperan sebagai pendana atau wakil pemilik dana. Pelaksana pemilik dana (dunia perbankan) seperti chairman of the board, direktur, para manager cabang dari berbagai perbankan internasional termasuk dari Swiss. Pengawas pemilik dana seperti pengacara keuangan, akuntan publik, dan konsultan keuangan pendanaan asing.
Tiap operator dapat menentukan tarif dibawah tarif telkom karena saingan tarif. Tiap orang menikmati sarana komunikasi yang sesuai dengan daya beli masyarakat. Pribadi - Keluarga
Ibu dari seorang Putri usia 34 tahun, dan 2 Putra masing-masing usia 33 dan 25 tahun.
Lulusan insyur teknik lingkungan I.T.B. dengan Summa Cum Laude yang pertama diberikan oleh I.T.B. di fakultas tersebut, (Putri, foto kanan, Jakarta 1997) Bekerja dan 5 tahun kemudian penerima bea siswa penuh dan lulusan pasca sarjana dari University of Hawaii pada bidang managemen lingkungan serta teknik lingkungan dan perencanaan kota (City Planning). Setelah bekerja di Indonesia, Canada, Belanda, Amerika, Jepang, ia bekerja sebagai salah satu pimpinan Proyek United States Agency for International Development (U.S. AID) Bidang Lingkungan Pemerintah Amerika Serikat di Kedutaan Besar U.S.A., Jakarta, dan kini bekerja di perusahaan patungan Indonesia-Amerika di bidang lingkungan.
Mantan Ketua Dewan Mahasiswa, lulusan Unpar, Bandung, di bidang Sosial Politik dan Hukum Internasional, dan M.A. di St. John's University di New York, menikah dengan 2 anak laki-laki berusia 3.5 dan 2.5 tahun. Sejak tahun 1996 menjabat sebagai diplomat/Sekretaris II di P.B.B. (Perwakilan Tetap Indonesia Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations). (Foto kiri Cucu Rimba, Menantu Dewi Dayat & Cucu Samudra, New York, Agustus 1999). Menjabat sebagai juru bicara/spokesman untuk Grup-77 (perkumpulan 130 negara gerakan non-blok) & Cina, di P.B.B. New York, N.Y., Amerika Serikat, dan pada tahun 1993 sebelum ke New York menjadi asisten Bapak Nana Sutresna (Duta Besar Keliling dan Direktur Eksekutif pada Gerakan Non-Blok [GNB] dibawah Presiden Soeharto) di Departemen Luar Negeri.
Salah satu pendiri dan perintis Radio Republik Indonesia (RRI). Veteran Pejuang Kemerdekaan R.I. Golongan ‘A’, Awal 1950 mejabat sebagai diplomat senior di Roma, Italia, di Ottawa, Canada, dan Chargé d’Affaires dan Duta di Tunis, Tunisia dan London di bawah Pemerintahan Presiden Soekarno, Mendapat Penganugerahan Satyalancana Karya Satya serta Perintis Kemerdekaan R.I., penghargaan serta penganugerahan dari berbagai negara lain. (Foto kanan, saat mempimpin KBRI di London, tahun 1965). Pensiun pada tahun 1969, beliau di angkat kembali sebagai Duta Besar oleh Presiden Soeharto pada tahun 1970 untuk Kerajaan Afghanistan s/d tahun 1974. 1974 diangkat kembali berdasarkan Keputusan Presiden R.I. 17/K 1974 sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara sampai dengan wafatnya pada Oktober 1991 pada usia 76 tahun. Pejuang dan selichting (berkawan & seumur) dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Sunaryo, Bapak Adam Malik (ketiga-tiganya mantan Menlu), Bapak Roeslan Abdulgani dan tokoh-tokoh nasional lainnya. R.M. Suyoto Suryo-di-Puro adalah keturunan Raden Mas Said, Raja Mangku Negoro I (MN I, dikenal sebagai Pangeran Samber Nyowo dan Pangeran Sapu Jagat) dari Solo (Surakarta), Jawa Tengah yang keturunannya berawal dari Sunan Kali Jogo dari ke 9 Wali dikenal dengan Wali Songo. |
dan mantan wartawan & editor berbahasa Inggeris di kantor Berita Perancis AFP dan kantor Berita Antara di London, Paris, & Koln pada pertengahan tahun -'60s |
Starting Point Hot Site. |
|
|
|
||
|
|
Indonesia’s largest circulation daily versi Indonesia | English | Dutch |
- Pos Kupang |