Isi Halaman
Program Kerja Indonesia Baru Tengah Disusun & Dapat Di Tambah & Diperbaiki Sesuai Keadaan
* Pengalaman Lapangan Didasarkan Pengalaman Kerja selama 36 Tahun
Riwayat Hidup Penulis
http://come.to/suryo-di-puro


Isi Program Kerja
Indonesia Baru
Indonesia Baru
Maksud Program Kerja
Keadilan Yang Sama
Program Kerja Harus Jelas *
Hak Indonesia Untuk Berperan
Perlu Merasakan Suka-Dukanya
Indonesia Di Mata Dunia *
Rakyat Yakin Dengan Pimpinan Yang Mengalami Apa Yang Mereka Alami *
Ucapan PejabatUntuk Luar Negeri *
Perlu Promosi Diri *
Akibat Rendah Diri *
Barat Menguasai Media Masa *
Meningkatkan Kemampuan Kita
Peningkatkan Kemandirian
Sikap Lebih “Pintar” Pemerintah *
Ekspor Sebagai Penunjang,Bukan Andalan
Memberi Kail Untuk Mencari Ikan *
Komponen Yang Diperlukan
Teknologi Pertanian
Teknologi Antar Penduduk *
Telekom Katalisator Pembangunan *
Usaha Menyentuh 140 Juta Manusia *
 Menimbulkan Kemampuan Masyarakat
Ketahanan Terhadap Gejolak Ekonomi
Tidak Ada Isolasi Telepon *
Wujudnya Proyek Besar Telkom
Tergantung Dengan Suasana
Politik Stabil & bersih *
Dana Besar Bisa Masuk *
Dana Besar Mempunyai Motivasi *
Turun Ke Tingkat Orang Biasa *
Rencana Investasi *
Pendidikan Menjadi Pendidikan “Kreatif”
Meningkatkan Kekuatan TNIMenjadi 1% Jumlah Penduduk - 2.1 Juta Personil *
Kekuatan Untuk Menghadapi Luar Melindungi Dalam Negeri
Teknologi Canggih Untuk Dalam Negeri & Angkatan Bersenjata *
Otonomi & Federalisme
Aceh Sebagai Patokan
Hukum Adat Setempat
Hukum, Peradilan & Keadilan *
Hukum Negara & Hukum Militer
Narkoba *
Duta Besar Penjual Jasa Untuk Negara *
Tidak Minder Menghadapi Asing *
IMF Dapat Dipengaruhi *
Membela Indonesia Terhadap Asing Di Internet *
Riwayat Hidup Penulis *

Penulis adalah Anggota
The HTML Writers Guild
dan mantan wartawan & editor berbahasa Inggeris di kantor Berita Perancis AFP dan kantor Berita Antara di London, Paris, & Koln pada pertengahan tahun -'60s

suryo@suryo.net

 

Alamat Internet Halaman ini: http://go.to/indonesia-baru
Oleh R. Adji Suryo-di-Puro http://www.suryo.net

Maksud Program  Kerja
Program Kerja Indonesia Baru dimaksud untuk menjawab berbagai masalah yang sedang dialami Negara kita, langkah-langkah apa yang kira-kira perlu di adakan untuk menjawab – dan menyelesaikan – masalah-masalah tersebut, dan atas dasar pengalaman apa? 

Apakah ini “teori” (pengamatan) atau berdasarkan “jam terbang” (pengalaman lapangan) yang nyata yang mengenal “ranjau-ranjau lapangan”? 

Program ini bermaksud untuk mengisi dan mendukung Program Kerja Pemerintahan Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri dengan berbagai pertimbangan yang didasarkan pengalaman kerja penulis berusia 58 tahun yang usianya tidak jauh beda dengan usia Gus Dur. 

Prinsip Sederhana:  “Keadilan Yang Sama”

Konsep Kerja Indonesia Baru didasarkan prinsip sederhana. Prinsip ini berlaku untuk semua kegiatan sehari-hari – apapun bidangnya – yang dilakukan oleh masyarakat biasa dan para penguasa. 

Yaitu: “diterima atau tidak bila perlakuan yang sama juga dialami mereka yang mengeluarkan bijakan, peraturan & hukum” (kita sebagai penguasa, pejabat pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR bisa terima atau tidak, apabila kita mengalami perlakuan yang ditetapkan penguasa kepada diri kita). Bila tidak, sudah saatnya kebijakan, peraturan dan hukum dan perlakuan tersebut perlu dirobah dan diganti. 

Pejabat Pemerintah tidak menyadari bahwa kenaikan harga BBM dari Rp 1.000 menjadi Rp 1500 adalah beban luar biasa besarnya. Kenapa mereka tidak merasakan? Karena pejabat yang menentukan kebijakan dan peraturan lain (dalam hal ini pejabat echelon tinggi, bukan pelaksana lapangan), tidak pernah kena ujung dan akibat peraturan mereka. Kenapa? Karena pejabat penentu tersebut mendapat “tunjangan” ini dan “tunjungan” itu. Pola dan cara berpikir semacam ini harus hihilangkan supaya para pejabat tinggi, termasuk pimpinan negara, benar-benar menyadari dan merasakan bagaimana orang kecil harus menanggung akibat kebijakan mereka.

Pada prinsip-prinsip yang mengalir pada program kerja ini, pelaksanaan lapangan  perlu mematok pada prinsip yang hendak ditegakkan. Pada prinsip “keadilan yang sama” misalnya, pelaksanaan lapangan adalah hasil nyata pada “keadilan yang sama”. Bukan berbagai macam kebijakan, peraturan dan teori yang tidak memuwujudkan “keadilan yang sama” di lapangan.

Negara yang benar-benar menjadi makmur – dan ini adalah sasaran kita semua – dilandasi perlakuan adil bagi mereka yang menyusun peraturan dan hukum, dan bagi mereka yang menerima hukum dan peraturan ini. 

Pengalaman 36 tahun jam terbang di lapangan nasional dan internasional yang mengenal “ranjau-ranjau lapangan”, dimulai dari awal tahun 1964 dibidang asuransi di Lloyds, perusahaan asuransi tertua dunia bermarkas di London, sebagai wartawan berbahasa Inggeris di sebuah kantor berita pers bermarkas di London yang kini terbesar di dunia, di kantor berita nasional Perancis Agence-France Presse (AFP) di Paris, saat itu nomor 3 terbesar dunia, dan di Antara Kantor Berita Nasional sebagai asisten redaktur berbahasa Inggeris di kantor pusat luar negeri saat itu di Koln, German Barat sebelum meledaknya G-30S.

Sejak 1970 penulis berperan sebagai pialang (stock broker) untuk perusahaan-perusahaan bermarkas di Amerika dan Swiss dan mengenal peredaran dan peranan keuangan/dana di sebuah ekonomi; pendiri perusahaan di Jakarta 1972; asisten dosen/guru pendidikan di Universitas Indonesia., dosen/guru bahasa dan protokol negara sebagai Pembantu Staf Ahli Menteri Sekneg bertugas di Sekretariat Wakil Presiden jamannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX; ikut menyusun organisasi (kompartemen) di Kadin; pengusaha/suplier dan penyusun berbagai program bidang frekwensi untuk Departemen Hankam; memasang jaringan sarana komunikasi radio nasional dari Sabang s/d Merauke di 1,700 lokasi lebih untuk Hankam/Polri yang kemudian digunakan untuk Pemilu; mengadakan investasi dengan dana pribadi untuk keperluan Sekneg/Tamu Negara, dan pada tahun 1986 mengonsep pola pembangunan untuk 140 juta masyarakat melalui “telpon murah masuk desa” yang penjelasannya diminta secara formal oleh Pemerintah pada tahun 1988 setelah 2 tahun melobi untuk dapat diterima di Indonesia. 

Setelah penjelasan formal selama 55 menit dan tanya-jawab selama  4.5 jam di hadapan 115 pejabat teras dipandu Sekjen Parpostel dari 3 departemen & 3 BUMN, konsep tersebut diadopsi oleh Pemerintah pada tahun 1988 dengan dikeluarkan surat “percobaan” dengan istilah Pola Bagi Hasil (PBH) dan berbagai nama lain, antaranya KSO dan BOT yang menggunakan prinsip inti PBH, yaitu kerjasama & pembagian untung dilingkungan monopoli pemerintah. 

Dari konsep PBH tersebut lahir berbagai usaha yang dimiliki pengusaha-pengusaha lain di bidang telekom bergerak & genggam (Satelindo, Telkomsel, Excelcom dan lain-lain), televisi swasta (RCTI, SCTV dll.), jalan tol, perlistrikan, dll. Pada tahun 1994, penulis melobi supaya prinsip PBH dibubarkan dan diadakan saingan bebas di Telkom, yaitu adanya tarif yang berbeda.

Karena usaha “telepon masuk desa” menggunakan teknologi paling canggih yang ada berupa sistim wireless digital yang akan menyentuh langsung 140 juta manusia tersebut, penulis selama 12 tahun dari tahun 1988 s/d 1999 didatangi oleh ± 2.300 (dua ribu tiga ratus orang) dari berbagai penjurus dunia bergerak dibidang pendanaan proyek besar. Diantaranya 1.500 orang asing mewakili para pendana, pengacara dana, akuntan publik, pejabat bank dan para konsultan keuangan semua dari berbagai negara asing, yang memberi petunjuk cara-cara mendanai proyek sebesar US$ 150 milyar ini (investasi tiap SST digital wireless adalah US$2,000). 

Sekalipun penulis berhasil dengan pendana multi-nasional terkenal dan terbesar di dunia dibidangnya yang menyediakan 100% dari usaha $7 milyar dengan saham 60% (dibiayai seratus persen oleh mitra asing, tapi mitra Indonesia diberi saham mayoritas sebesar 60%) yang telah masuk ke BKPM, keadaan di Order Baru saat itu merusak usaha ini karena “unsur yang berkuasa” memaksa pengambilan alih usaha ini. Karena berbagai kepentingan di Indonesia yang sedang berjalan, pendana tunduk kepada permintaan unsur penguasa tersebut setelah mendapat persetujuan tertulis dari mitranya. 

Dana besar dapat masuk lagi dari berbagai sumber lain, asal keadaan di Indonesia bersih dari korupsi yang menjuluki Indonesia sebagai negara nomor “3 terkorup” dari 235 negara dunia. 

Tidak ada pihak manapun, baik orang asing atau orang kita di luar dan dalam negeri, yang bersedia mengganti dana yang dikorupsi dan perkaya pihak lain yang menyimpan dana hasil korupsi tersebut di luar negeri. Seperti tidak ada orang yang bersedia mengganti uang untuk keperluan “A” yang dicuri si “B”, diganti, dicuri lagi dari “A”, dan diganti lagi tanpa si “B” ditangkap dan diadili terlebih dahulu, sekalipun si “A” yang berhak atas dana tersebut sedang menderita. Di satu sisi banyak pihak yang bersedia membantu kita keluar dari keadaan terpuruk ini, tapi di sisi lain yang mampu membantu tidak ingin uangnya di grogoti begitu saja karena korupsi luar biasa di Indonesia yang memperkaya orang lain yang tidak berhak.

Penulis berpengalaman sebagai seorang field operative (pelaksana lapangan) seperti cerita fiksi James Bond dengan, antara lain, “menculik” seorang ilmuwan penting Jerman dari Berlin Timur dipertengahan 1964an di tengah perang dingin antara Blok Barat dan Blok Eropa Timur/Uni Soviet karena diperlukan oleh dua negara barat, dan membawanya ke Jerman Barat setelah gagal 3 kali oleh para operator barat lain. 

Ia merobah cara operasional mereka karena kegagalan ini. Pada pelaksanaan yang dilakukan sendiri dengan diamati dan dibantu dari jarak jauh, ia melawan dinas intel militer nomor dua terbesar dunia dengan negara satelitnya, memasuki daerah negara Komunis yang tidak dikenal, penuh kecurigaan dan pengintaian, serta pemeriksaan fisik secara berkala kepada semua orang karena dekat perbatasan Berlin Timur & Berlin Barat, dan berhasil pada operasi tersebut dengan segala risiko mempertaruhkan nyawa dan hubungan baik Indonesia dengan negara2 tersebut karena ilmuwannya diculik. Ia sempat ditegur 6 tahun kemudian di tahun 1970 oleh Duta Besar Rusmin Nurjadin karena laporan2 yang masuk ke KBRI London saat itu. 

Di Indonesia ia mengalami pelanggaran HAM terhadap dirinya oleh aparat penjunjung undang-undang Negara; mengalami pemalsuan dokumen BAP yang disodorkan oleh unsur aparat mabes tingkat Lt.Kol., paksaan menandatangani BAP palsu yang disusun oleh unsur aparat mabes karena perwira wanita tingkat Kaptain menyandra istri, pemeriksaan oleh seorang Lt.Kol. yang ternyata kemudian adalah saudara sepupu sendiri, dengan atasan seorang jendral nomor 5 di urutan pimpinan nasional aparat tersebut yang ternyata kakak sendiri yang darahnya sama dengan darah penulis.

Penulis juga merasakan kecurangan dan ketidakadilan di jaringan peradilan saat kediamannya seluas 2.200m2 di jalan raya arteri di Jakarta selatan dirampas karena kredit bank palsu yang tidak pernah diminta penulis, kredit diadakan tanpa tandatangan penulis yang jelas tindak pidana yang dilakukan oleh lawan dan diperkuat oleh hakim kotor (bukan semua hakim kotor yang di alami juga oleh penulis), dan sidang2 yang terang-terangan dikendalikan oleh uang lawan,  dan karena pembiayaan ONH kepada hakim dan keluarganya. 

Penulis juga mengalami meninggalnya seorang putra bungsu berusia 25 tahun pada tahun 1999 yang bukan lagi seorang anak, melainkan seorang teman karena anak itu mengalami keluarganya diperlakukan tidak adil dan mengalami rumah keluarga anak ini diambil secara paksa sehingga ia terkena tekanan mental dan stres berat ia terjerumus ke “narkoba”. Sebagai seorang bapak/ayah, penulis merasakan hancurnya seorang tua karena narkoba yang anak ini berulang-kali berhasil melepas ketergantungan selama bertahun-tahun, ia tetap di hantui dan dikejar oleh lingkungannya sehingga ia meninggal, karena aparat tidak mampu membersihkan – dan juga terlibat penjualan – kotoran ini. 

Walau banyak orang mengatakan ini adalah “takdir” Tuhan, penulis tidak bersedia menerima begitu saja tanpa ada hikmah yang berguna, bukan saja bagi seorang ayah yang anaknya meninggal, tapi juga untuk banyak orang lain yang mengalami perlakuan dan nasib yang sama.

Merangkum semua pengalaman lapangan ini, termasuk penyerahan laporan formal serta bukti-bukti kepada POM ABRI atas pelanggaran hukum Negara oleh unsur ABRI tersebut diatas tanpa ada lanjutannya, penulis tidak bisa bayangkan dan sangat prihatin nasib masyarakat  biasa yang mengalami pelanggaran terhadap HAMnya dan perlakuan curang lain yang tidak adil karena tidak ada kenalan dan hubungan “atas”. 

Penulis cukup dewasa dan menyadari bahwa tidak ada faktor “balas dendam”. Melainkan di buat sadar oleh pengalaman-pengalaman ini bahwa yang punya hubungan luas serta keluarga dekat dan jauh di hampir semua tingkat pemerintahan Orla, Orba dan Habibie, dari wakil lurah di Gunung Kidul s/d dua mantan presiden, diperlakukan semacam ini. Bagaimana bagi mereka yang tidak ada teman atau kenalan?

Karena pengalaman lapangan, keberanian melawan unsur intel militer nomor dua terbesar dunia, mengalami perampasan HAM, kecurangan dan ketidakadilan yang juga mengakibatkan meninggalnya seorang putra yang disayang, ia bertekad untuk membersihkan segala kotoran yang ada di negeri tercinta kita ini bila mendapat kesempatan untuk melakukan ini. 

Tidak ada pengalaman yang menyamai pengalaman nyata yang memacu seseorang karena menyangkut darah daging sendiri. Tidak ada pengalaman, kecuali pengalaman nyata, yang sungguh2 memberi motivasi kepada seseorang yang pernah mengalami ketidak adilan ini demi keadilan jutaan orang lain.

Tanpa ada pengalaman semacam ini, seorang pimpinan, termasuk para pimpinan sekarang, tidak akan bertindak. Dan apabila ia bertindak, tidak akan dengan sungguh-sungguh dan dengan keyakinan kotoran ini harus dibersihkan karena ia tidak/belum mengalami kotoran/pelanggaran HAM dan kecurangan ini langsung kepada dirinya. Akibat tidak ada kesungguhan ini akan berdampak jauh sampai dapat merontokkan Negara R.I. hanya karena untuk kepentingan – dan pembelaan – segelintir dan sekelompok manusia saja yang tidak pantas untuk dibela dan tidak pantas untuk dipertahankan.

Keadilan Yang Sama

Program kerja Indonesia Baru ini, didasarkan sikap “keadilan yang sama” bagi semua orang. 

Mulai dari masalah kecil seperti dikenakan “pajak fiskal” (exit tax) yang berlaku bagi semua orang biasa tapi tidak berlaku untuk pejabat yang bertugas di luar negeri, masalah orang biasa dikenakan tilang karena melanggar peraturan lalu lintas tapi tidak menilang seorang jendral polisi karena yang melanggar adalah atasan petugas polisi, sampai dengan masalah-masalah besar yang dapat meruntuhkan Negara R.I. seperti tidak ada penyelesaian masalah politik, serta pelanggaran adat di berbagai daerah yang tidak kunjung selesai, terutama uang milik Negara yang dicuri dengan berbagai cara yang dijadikan “legal”. 

Sikap membedakan lapisan masyarakat dengan lapisan lain dengan “prioritas” kepada pemerintah/pejabat menuju kepada sikap kebal peraturan, dan kemudian menuju kepada kebal hukum untuk pejabat negara dan teman-temannya (kroni-kroninya). Ini adalah suatu de facto/kenyataan di lapangan walau secara formal dan de jure tidak ada kebijakan resmi oleh instansi pemerintah tersebut mengenai kekebalan ini. 

Tugas orang/masyarakat biasa tidak kalah pentingnya tugas seorang pejabat, sebab di negara yang kaya dan makmur – dan ini adalah tujuan Negara Indonesia – kekayaan negara diperoleh dari rakyatnya, bukan dari pejabatnya. Pejabat tidak membawa uang kedalam kantong rakyat yang dinikmati rakyat; hanya mengatur negara supaya rakyat bisa menikmati kehidupan yang dihasilkan oleh rakyat sendiri.

Bagi rakyat biasa, keadilan dan hasil nyata keadilan ini diperlukan. Bukan “teori” dan tidak adanya pelaksanaan teori ini yang kini memacu berbagai daerah untuk misah diri dari Republik.

Mengenai “Peningkatan TNI Menjadi 2.1 Juta Personil” dari sekarang sekitar 450-500.000 orang, para pimpinan TNI perlu melihat ke “luar negeri” menjaga kedaulatan Negara & Wilayahnya dan menghilangkan menengok “dalam negeri” (dwi fungsi) – walau sebagian besar masyarakat kita masih trauma besar dengan pengalaman negatif dengan ABRI.

Indonesia sebagai negara nomor 4 terbesar dunia, memerlukan angkatan bersenjata yang kuat karena kemampuan fisik menjaga dan mempertahankan kepentingan bangsa. Ini alasan utama. 

Alasan berikutnya adalah keyakinan bahwa sebagian besar/mayoritas anggota TNI tidak merestui dan tidak menyetujui unsurnya menembaki bangsanya sendiri karena keyakinan bahwa bila saudara kandungnya sendiri diperlakukan demikian, anggota TNI ini pun tidak akan menerimanya. Lagipula, para pimpinan TNI telah berulang kali sekolah dan pendidikan yang diterimanya membuat mereka lebih berintelektual, pintar dan karenanya tidak akan cendrung main hakim sendiri karena kesadaran bahwa hal ini bisa berbalik bagi dirinya. 

Para pimpinan yang tidak yakin atas sikap ini, perlu merasakan terlebih dahulu bagaimana perasaan mereka yang kehilangan saudara, isteri, adik dan saudara lain di Aceh dan daerah lain di Indonesia. Sikap mereka terhadap orang lain pasti berobah, bila mereka pernah mengalami sendiri.

Mental prajurit/pelaksana lapangan perlu diperkuat dan dibenahi bahwa senjatanya bukan untuk menembaki orang yang tidak bersenjata, seperti mental seorang karateka yang benar, tidak mencari perkelahian karena kemampuannya mengalahkan beberapa orang secara sekaligus. 

Anggota militer dapat disamakan dengan anggota keluarga kita terdiri dari bapak, ibu dan 3 anak. Bila salah satu anak itu melanggar hukum dan melanggar kesopanan moral kepada anggota keluarganya sampai memalukan keluarga tersebut dihadapan masyarakat (dihadapan bangsa sendiri dan bangsa luar), anak bersalah di keluarga tersebut dihukum. Bukan berarti bapak, ibu dan anak-anak lain itu jahat. 

Diangkat pada tingkat nasional yang lebih luas dan memberi analogi kepada mereka yang ingin misah diri dari Republik, anak lain di keluarga itu yang ingin berpisah dari ayah, ibu dan saudara kandungnya (ibarat bangsa Indonesia) karena kesalahan saudara kandungnya adalah anak yang tidak baik karena tidak menaruh kesalahan pada tempatnya.

Apabila perlakuan sewena-wena masih tetap berlangsung di Negara tercinta kita, mungkin ada baiknya rakyat biasa lewat DPR/MPR kita mengamendemen Konstitusi ‘45 dan mengadopsi sikap para pendiri negara Amerika Serikat. Yaitu tiap warga negaranya mempunyai hak dasar memegang senjata yang ditetapkan di dalam konstitusinya demi menjaga hak rakyat terhadap perlakuan sewena-wena. Pandangan bahwa orang Amerika “beda” dengan orang Indonesia karena kebudayaan, sejarah dan lain sebagainya, tidak kena. Orang di sana sama saja sikap kemanusiannya dengan orang Indonesia. Mereka tidak suka apabila sembarangan ditampar; orang kita-pun sama.

Dana yang diadakan untuk proyek telkom besar tersebut dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat biasa, dapat pula diadakan untuk TNI dengan berbagai macam cara, untuk membangun armada laut & armada lain, sarana telekomunikasi satelit dunia yang memungkinkan prajurit kita berkomunikasi dengan siapapun di seluruh dunia, apalagi di wilayah Indonesia dan disebrang bukit; pembangunan pabrik-pabrik senjata serta keperluan-keperluan lain yang menunjang angkatan bersenjata TNI yang tidak akan kalah dengan angkatan bersenjata manapun, dengan atau tanpa persetujuan negara asing manapun, termasuk IMF. (Dana ini tidak ada hubungan dan bukan dana “ribuan trilyun” gambar Soeharto yang kini tidak masuk di sistim peredaran keuangan negara dan tersimpan di berbagai tempat).

Baru dapat wujud Indonesia yang makmur.

 
Program Kerja Harus Jelas *
Setiap Pejabat Tinggi Negara harus memiliki Program Kerja yang jelas. Dengan adanya program tersebut yang bersangkutan dapat di nilai potensi kemampuannya untuk menjalani suatu tugas oleh masyarakat.

Walau hasil akhirnya belum tentu presis seperti yang di rencanakan dan diharapkan karena banyak faktor-faktor dan tantangan di luar kekuasaannya yang tidak diduga sebelumnya, tapi dapat dipastikan bahwa program kerja yang jelas akan membawa hasil yang lebih terarah, akan mendapat dukungan oleh lebih banyak orang karena mulai dikenal dan dipahami, dan karenanya hasilnya akan lebih dapat dipastikan.

Yang pasti, salah pemahaman yang sering terjadi yang memaksa pejabat mengulangi penjelasan-penjelasan mengenai Undang2 no. 22 dan berbagai macam masalah lain, akan jauh dikurangi sehingga rakyat tidak perlu naik pitam menganggap pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menyelesaikan masalah yang belum selesai.

Kemajuan dibidang ekonomi Indonesia dihargai semua negara dan mendapat pujian pula oleh masyarakat Indonesia. Kemampuan ekonomi Indonesia lebih bertumpu pada para pengusaha-pengusahanya – para pengusaha yang memiliki jam terbang bukan di Indonesia saja, melainkan juga di dunia internasional yang menghasilkan pandangan yang lebih luas.

Walau kita memiliki banyak pengusaha Indonesia berpengalaman di dunia internasional dan nasional, kita perlu pemimpin yang dapat menjebatani kebudayaan asing dengan kebudayaan serta tata cara bangsa Indonesia. Kesalahpahaman lahir dari tidak adanya saling pengertian

Walau tujuan Program Kerja Indonesia Baru ini bertumpu kepada kemampuan bangsa kita sendiri, sementara ini kita masih memerlukan kerjasama swasta asing dan pemerintahan luar negeri. Mampu menjembatani kebudayaan ini adalah tumpuan dari keberhasilan didalam negosiasi, baik negosiasi kenegaraan, negosiasi urusan usaha, dan usaha besar-besaran yang semuanya bertujuan untuk memakmurkan negara kita.

Sebagai Negara 4 Terbesar Dunia Indonesia Punya Hak Untuk Berperan *
Di bidang ekonomi kita tidak perlu mencari sistim baru – ikuti saja sistim yang terbukti berhasil seperti di Amerika Serikat dan Jepang dan dimodifikasi bilamana perlu untuk iklim dan keadaan di Indonesia. Pengalaman nyata di dunia internasional yang luas sangat diperlukan karena Indonesia sebagai negara terbesar nomor empat telah menjadi warga dunia dan perlu mampu memahami bermacam aspirasi.

Selain kemajuan ekonomi negara, pimpinan kita di Indonesia harus memiliki keberanian untuk menuju dan menjalankan hal-hal yang sementara ini dianggap tidak mungkin. Keberanian ini bukan “asal berani mati” tanpa ada dasar yang masuk akal. “Masuk akal” ini bertumpu pada “pengetahuan” serta “pengalaman” (knowledge base dan experience base).

Misalnya, merencanakan dan menuju pada peningkatan kemampuan angkatan bersenjata Indonesia TNI menjelajahi lautan internasional seperti angkatan laut Amerika Serikat dan Russia di mata masyarakat kita, sama sekali tidak mungkin. Termasuk mereka-mereka para “para pakar” yang memahami benar keadaan kita di Indonesia. “Mungkin” atau “tidak mungkin” tersebut, sangat tergantung pada “pengetahuan dan pengalaman” mereka yang menilai ini. Tanpa knowledge base ini tidak mungkin ia bisa menilai keadaan ini. Tapi, secara singkat tanpa merinci panjang lebar, kemampuan Indonesia pada tahun 1991 menghapus IGGI dan menggantikannya dengan CGI, adalah salah satu indikator atas potensi kemampuan Indonesia untuk melaksanakan yang di cantumkan disini. Selain dari yang “diketahui” umum, ada pula hal-hal lain yang tidak diketahui umum.

Indonesia sebagai negara nomor 4 terbesar dunia dari 235 negara dunia punya hak mengarah kepada kenyataan kekuatan angkatan bersenjatanya – sekalipun berbagai masyarakat kita sementara ini mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu dengan ABRI. TNI kita perlu merobah pandangan dalam negeri (dwi fungsi) ke arah menjaga kedaulatan wilayah negara menghadapi potensi musuh luar negeri.

Tanpa perobahan, dan tanpa langkah-langkah yang nyata seperti pembubaran “Koramil”, “Babinsa”, dan penghapusan wakil TNI di DPRD dan DPR, tidak akan ada pihak, terutama pihak pendana besar dan para pelakunya, yang bersedia meningkatkan kemampuan TNI menjadi angkatan bersenjata yang disegani (terkecuali bantuan militer pemerintah negara bersahabat yang bantuannya tidak ada artinya karena tidak ada pemerintah asing yang mau di “saingi” oleh mereka yang dibantu).

Skenarionya adalah kekuatan wujud di daerah wilayah Indonesia, kemudian di Asia Tenggara, kemudian pada Asia pada umumnya, dan kemudian pada dunia, termasuk “menyewa” pangkalan di tempat-tempat tertentu yang di tentukan oleh pimpinan TNI, mengingat bahwa wilayah Indonesia dilalui oleh 85% angkatan laut dan kapal-kapal komersial dunia (disebut oleh Bill Clinton, yang juga berarti dibenaknya bahwa fakta ini adalah penting bagi Amerika Serikat yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh kita) dan sebenarnya memiliki leverage (pengaruh & pengungkit) yang dapat digunakan.

Pimpinan TNI tidak perlu kwatir bahwa ia akan “dilupakan” sebab perlunya TNI yang kuat “menjaga kedaulatan negara dan bangsa” adalah untuk kepentingan kita semua. Ibarat rumah tinggal kita di jaga oleh aparat keamanan, sudah dengan sendirinya kita perlu perhatikan kemampuan aparat tersebut untuk dapat berfungsi dengan baik demi keselamatan penghuni rumah tersebut. Tapi, penghuni rumah tidak bersedia di campuri urusan rumah tangganya, apalagi menampar anggota keluarga oleh aparat milik rumah tangga tersebut. TNI adalah milik Bangsa dan Negara Indonesia (ibarat “rumah tangga” di analogi ini) dan bangsa Indonesia memiliki motivasi TNI-nya kuat (asal tidak menampar penghuni rumah tangga). Mulai menjaga keamanan di luar rumah kita ini, akan mewujudkan TNI yang disegani tetangga kita.

Kebijakan negara kita bertumpu pada 3 titik utama, yaitu kemampuan rakyat di dalam negeri, kebijakan luar negeri dengan mengandung sikap kita negara adidaya, dan kekuatan militer menjagaa dan membela Negara terhadap luar.

Selain tujuan utama mensejahterakan rakyat yang dengan sendirinya tidak bisa ditawar lagi, kita perlu menuju kepada kedua sikap akhir ini. Ke dua sikap akhir ini perlu dilontarkan melalui ucapan-ucapan pejabat-pejabat kita kepada pejabat-pejabat dan rakyat asing supaya melekat pada diri mereka – mirip dengan iklan yang ditayangkan di media masa tiap hari sampai kita semua percaya apa yang di iklankan tersebut.

Yang dapat memimpin dan yakin dapat mewujudkan cita-cita Indonesia Baru ini, adalah mereka yang punya jam terbang serupa, yakin diri karena pengalaman di lapangan, karena adanya potensi kekayaan Indonesia yang tidak ternilai berupa jumlah 150 juta penduduk yang dibawah 30 tahun, kekayaan alam, serta aset “substansial” (yaitu aset bankable, bukan aset kekayaan alam yang belum digarap yang tidak dapat dijadikan kolateral bank) yang pernah diucapkan oleh Michel Camdessus ketua IMF pada konperensi pers di Washington, D.C., dan faktor-faktor lain yang tidak diuraikan secara mendalam di halaman ini. Faktor-faktor ini adalah bahan baku menuju Indonesia Baru, menuju Indonesia menjadi negara adidaya dan menjadi makmur.

Semua bermula dari sikap kita, keyakinan kepada sikap kita ini, dan promosi sikap kita kepada rakyat dan kepada dunia internasional.

Banyak ucapan yang menyebut “masyarakat harus mandiri”, “masyarakat harus makmur” dan hal serupa yang dapat dipastikan adalah tujuan semua pihak. Tapi, jarang sekali pengamat  memberi “bagaimana pelaksanaan serta detail-detailnya”? Program kerja ini dimaksud untuk memberi berbagai pelaksanaannya yang hampir semua tertulis di program kerja Indonesia Baru ini, didasarkan pengalaman di lapangan.

Perlu Merasakan Duka-Dukanya *
Mereka yang memiliki jam terbang bidang apapun perlu merasakan suka-dukanya dilapangan kerja tersebut karena pengalaman di lapangan akan membawa “pemahaman ranjau-ranjau di lapangan”.

Pemahaman dan pengalaman serupa tidak diperoleh dengan menjadi seorang professor/Doktor/Ir. perguruan tinggi atau melalui pemantauan karena mempraktekan ekonomi dan usaha di lapangan sering jauh beda dengan teorinya. Apa lagi pelanggaran terhadap hak azasi manusia, diteror dan ditahan tanpa didampingi pengacara, atau dipukul seorang petugas, tidak akan dapat dipahami seorang yang hanya mendengar/mengamati pelanggaran HAM. Jauh beda sekali antara mereka yang pernah mengalaminya, dan mereka yang hanya mendengar saja.

Setiap orang memiliki program kerja dan hampir semuanya baik. Ibarat sebuah lagu menjadi populer (berhasil) atau tidak di tengah masyarakat sangat tergantung oleh penyanyinya, bukan semata-mata karena lagunya (program kerjanya) saja.

Indonesia Di Mata Masyarakat Dunia Perlu Memberi Contoh Yang Baik *
Indonesia sebagai negara terbesar nomor 4 perlu memberi contoh baik di dunia internasional, sekalipun banyak kekurangan-kekurangannya di dalam negeri. Terutama pemerintah kita. Masyarakat kecil kita menyadari kekurangan ini bila ditanya kepada orang biasa seperti sopir taksi dan penjual rokok di pinggir jalan.
Sikap pemerintahan kita sebelumnya menganggap masyarakat kita bodoh sehingga pejabat pemerintah punya tendensi menysun dan mengeluarkan berbagai macam peraturan dan hukum negara yang sifatnya berlaku untuk masyarakat biasa, tapi dalam pelaksanaannya tidak berlaku bagi mereka yang menegakan peraturan/hukum.
Sikap menempatkan pejabat sebagai kelompok eksklusif membawa dampak perlakuan terhadap masyarakat yang kurang adil, sewena-wena dan memenjarakan mereka yang memprotes, dan pada ekstrimnya di tembak dan dibunuh membuat masyarakat kita di berbagai daerah ingin pisah dari Republik.

Tayangan keseluruh dunia aparat keamanan menembaki masyarakat kita, apalagi adik-adik kita dengan senjata otomatis sekalipun dengan peluru karet, dan membalas pelemparan batu yang berarti aparat tidak beda dengan pengacau yang membikin keonaran, sangat mencemaskan semua orang tua di dalam dan luar negeri, dan memberikan kesan aparat kita sama sekali tidak bermoral dan tidak beda dengan brandalan berseragam.

Sekalipun kita yang dewasa menyadari yang berbuat itu sebenarnya segelintir manusia saja dan bahwasanya sebagian besar aparat pun tidak setuju karena mereka sendiri adalah orang tua dan tidak menerima bila anak, adik atau saudara mereka wafat karena tindakan oleh aparat dan rekan/koleganya, kesan aparat tidak bermoral menetap di benak semua orang. Bandingkan saja aparat kita yang menendang anak kita yang sudah terkapar setengah pingsan di jalan, dengan aparat di barbagai negara di luar negeri yang tidak membalas pelemparan batu, apalagi menendang demonstran yang sudah terjatuh. Bila ada yang menganggap tendangan dan balas pelemparan ini “wajar”, pikirkan dengan baik: terima atau tidak, bila keadaan ini dibalik dan yang terkapar dan ditendang adalah aparat?

Bagi mereka yang menganggap aparat “wajar” haruslah ingat bahwa roda selalu berputar – seperti dialami banyak orang yang mengisahkan pengalaman kena “balasan”, seperti hal Pak ‘Harto yang tadinya disanjung sebagai Bapak Pembangunan dan telah menyumbang pada pembangunan Negara, kini banyak yang menghujatnya; bahwa ia tadinya dianggap untouchable kini malah dipermalukan dengan dipanggil “anak buah” Jaksa Agung untuk dipertanyakan macam-macam yang pasti memalukan, walau ia dipanggil “bapak” oleh jaksa-jaksa.

Mengeluarkan peraturan yang berlaku untuk masyarakat biasa tapi tidak berlaku untuk mereka yang memerintah adalah contoh membodohi rakyat. Orang kecil pun tidak bodoh dan sadar ketidak adilan ini.

Contoh masalah kecil adalah memungut pajak/fiskal bagi mereka yang hendak ke luar negeri tapi pejabat tidak perlu membayar, rakyat biasa harus bayar. Pejabat/petugas PLN tidak perlu bayar listrik di rumahnya, dan pejabat Telkom tidak perlu bayar pulsa telponnya, tapi rakyat harus bayar. Sikap semacam ini harus dihilangkan karena tidak ada aturan dimana satu kelompok kebal bayar dan kelompok lain tidak kebal. Ini analogis dengan satu kelompok kebal hukum, satu tidak. Kenyataannya keadaan kita demikian.

Rakyat Akan Lebih Yakin Dengan Pimpinan Yang Mengalami Apa Yang Dialami Rakyat*
Bila negara kita benar-benar dan secara sungguh-sungguh akan dibersihkan dari pelanggaran hukum, HAM, ketidak adilan, dan korupsi yang merperkaya individu dan mempuruk bangsa, pimpinan negara perlu memiliki jam terbang mengalami ke-tidak adilan dan perlakuan sewena-wena dan pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum dan peradilan yang tugasnya menegakan hukum.

Seseorang yang pernah rasa kehilangan rumah tempat berteduh, bagaimana rasa malu di depan tetangga, karena satu pihak mampu menyogok hakim pengadilan untuk tidak memperhatikan peraturan perbankan, tidak ada tanda tangan permintan kredit yang merupakan tindakan pidana, dan oleh karena pihak tersebut mampu membiayai ONHnya sekeluarga si hakim, dan lawannya tidak mampu adalah seseorang pernah jadi korban yang akan sungguh-sungguh membersihkan ketidakadilan ini.

Rakyat biasa mengalami ini karena mereka tidak ada pengaruh atau kemampuan untuk membayar seorang pengacara yang mampu dan berpengalaman. Ia hanya tunggu nasibnya saja. Dari begitu banyak yang mengalaminya di semua kota, hanya segelintir dan kurang dari 5% yang di pantau dan ditayangkan dalam televisi atau media masa.

Bagi seorang wartawan ini bukan berita lagi karena sudah merupakan “kebiasaan”. Kebiasaan yang sudah menjurus kepada “kebudayaan” ini harus di hilangkan. Pimpinan yang pernah mengalami ketidak adilan dan perlakuan sewena-wena ini, adalah mereka yang akan benar-benar bertekad untuk merobah/mendobrak ketidak adilan dan perlakuan sewena-wena ini yang dirasakan oleh rakyat biasa. Ia pernah sakit hati, pernah sangat kecewa dengan keadaan yang nyata di bumi Indonesia yang diperlakukan oleh segelintir manusia kita yang seharusnya penegak hukum.

Menyelam “di dalam air kotor” adalah satu-satunya guru yang dapat memahami penderitaan masyarakat biasa yang pernah mengalami ketidak adilan. Pengalaman seorang pemimpin yang juga pernah mengalami ketidak adilan dan tindakan sewena-wena ini akan mendorong pemimpin tersebut untuk benar-benar gigih membersihan kotoran di Negara kita, daripada mereka yang mendengar saja.

Tidak ada pemahaman tanpa pengalaman nyata.

Ketidak adanya keadilan, perlakuan yang sewena-wena, tidak adil dan hal-hal yang serupa telah menggrogoti kesatuan dan persatuan Indonesia. Kita perlu membersihkan kotoran-kotoran ini demi kelangsungan hidup negara kita – demi perkembangan bangsa kita di bidang ekonomi dan kehidupan sehari-hari yang semua dambakan – dan bila kita ingin Republik kita tetap bersatu.

Tanpa pembersihan ini, rakyat tidak akan merasa aman karena hak-haknya dapat dirampas seketika tanpa proses yang adil. Mereka yang dapat membantu kita – institusi asing, investor asing, dan orang kita sendiri – tidak akan membantu selama sistim peradilan, dan lebih penting lagi keadilan benar-benar ada.

Emal halaman ini ke teman? ... klik garis ini
Ucapan Pejabat Tinggi Juga Untuk Konsumsi Luar Negeri*
Tugas kepala negara, wakil presiden, serta para menterinya, duta besar, para diplomatnya di luar negeri, adalah memberi contoh yang baik.

Pimpinan Indonesia harus mulai bersikap ucapannya adalah untuk konsumsi dunia luar – seperti ucapan para pimpinan di Amerika Serikat, Jepang dan Russia juga untuk konsumsi luar negeri, sekalipun negara-negara tersebut (kecuali Amerika) jumlah penduduknya lebih kecil dari pada Indonesia.

Di geopolitik kita di TimTim, Aceh & Ambon, korupsi oleh pejabat rendah dan pejabat tinggi, tidak adanya pengadilan yang memeriksa pelanggaran, dan apabila ada sistim peradilan tidak ada keadilan di sistim peradilan, dan perlakuan segelintir aparat pelaksana yang membedakan antara “warna ini” dan “warna itu” (kepercayaan “ini” dan “itu” yang “menyolokkan” perbedaan – “kamu orang Jawa saya Aceh”, “saya orang China kamu Jawa”, dan “saya Kristen kamu Islam”) menghancurkan reputasi aparat yang benar dan adil. Dan perlakuan sewena-wena yang mengakibatkan ketidak puasan di berbagai daerah di Indonesia, mengakibatkan reputasi bangsa Indonesia rusak di mata bangsa kita sendiri dan di mata dunia – sekalipun yang melakukan keonaran hanya segelintir orang.

Kita perlu menghilangkan sikap negatif terhadap berbagai unsur di negeri kita sendiri. Di satu sisi, kita harus benar-benar memperbaiki reputasi pemerintahan kita kepada masyarakat kita sendiri di dalam negeri, dan di sisi lain kepada masyarakat di luar negeri karena bagaimana juga, nasib kita masih tergantung kepada bantuan asing.

Pasar ekspor Indonesia yang dibuka atau ditutup, bantuan keuangan yang diberi atau tidak diberi, dan lain sebagainya sangat tergantung kepada sikap mereka yang positif kepada bangsa Indonesia.

Indonesia Perlu Promosi Diri - Bukan Rendah Diri*
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Indonesia perlu meningkatkan promosi diri – lebih dari biasa-biasa saja, karena masyarakat kita umumnya bersikap rendah diri (low profile) sehingga negara jauh lebih kecil seperti Singapore, Malaysia, Hong Kong dan Australia lebih dikenal.

Indonesia harus mulai mengambil peran aktif, seakan-akan sudah menjadi negara adidaya. Dengan keyakinan serta percaya diri atas hal ini, lama-lama semua komponen dan kekuatan dalam negeri menuju kepada sikap seragam ini karena pimpinannya mengacu kepada sikap ini.

Dunia luar pun akan menjadi tambah yakin, dan wujudlah pada kemudian hari bangsa Indonesia sebagai negara adidaya karena baik pihak dalam dan pihak luar negeri yakin atas promosi diri ini karena banyak kenyataan dan faktor-faktor yang mendukung ini.

Sikap promosi diri, seperti iklan-iklan yang ditayangkan di televisi dan media masa, memberi pengaruh besar kepada masyarakat kita dan masyarakat di luar negeri. Lebih sering banyak orang mengecap kita negara hebat, makin banyak orang yang yakin atas ucapan ini.

Tanpa bermaksud atau niat merendahkan warga negara Singapore karena negara dan warganya berdisiplin (sesuatu yang kita patut contoh) – dan negara Singapura digunakan sebagai contoh tapi berlaku bagi banyak negara lain – promosi diri Singapura sebuah kota hanya berjumlah 3 juta penduduk  yang muda di atur segala-galanya (beda dengan Republik Indonesia berjumlah 211 juta orang) punya percaya diri  seakan-akan negara kecil ini berpengaruh besar di ekonomi Asia Tenggara.

Promosi diri di telan begitu saja oleh hampir semua pengusaha dan pejabat kita, dan tentu oleh mereka di luar negeri. Perlu diketahui juga bahwa (mantan) Perdana Menteri Mr. Lee Kuan Yew yang telah menjadikan Singapura kota terkenal tersebut adalah tadinya orang Jawa, lahir di kota Semarang di Jawa tengah, menurut Mr. Lee Senior ayah Perdana Menteri Lee kelahiran Semarang, yang penulis sering bertemu saat-saat Mr. Lee Senior bekerja di toko jam di salah satu mal di Singapura pada tahun 1970an.

Padahal pada tahun ‘70-80-90an, banyak pengusaha Singapura senior di lapangan (yaitu praktisi di lapangan usaha Singapura yang nyata dan benar-benar mengenal “ranjau-ranjau” lapangan yang dapat mematikan mereka kalau tidak berpengalam dan berhati-hati), sering mengatakan bahwa bila Indonesia bersin, Singapore radang paru-paru. Bahwa 50% lebih Singapura dimiliki orang-orang Indonesia menurut praktisi usaha di Singapura tersebut. Bila GDP Indonesia untuk 211 juta manusia di ciutkan menjadi 3 juta manusia, betapa besarnya per kapita kita terhadap Singapura. Ia jauh dibawah kita. Tapi kita tidak main “manipulasi” angka semacam ini.

Promosi-promosi semacam ini oleh para pengusaha Singapura dan cara berbicaranya, statistik-statistik yang menyembunyikan kenyataan (per kapita per orang yang tidak berarti bila Indonesia menciutkan jumlah penduduknya menjadi sebesar Singapura), kemudian dipromosikan dan di playback seperti lagu pop yang diulang-ulang siang malam, selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun oleh warga Singapura dan orang-orang asing di segala media dan media elektronik, mengangkat negara kecil itu seakan-akan ia benar-benar dapat “menghancurkan” kita.

Pandangan yang kadang-kadang muncul di layar televisi internasional seperti CNBC oleh “para pengamat ekonomi”  yang sering ngawur (dari 10 “pengamat” hanya 5 yang menyentuh kebenaran) berkat kepercayaan angka-angka yang disebarluaskan ke berbagai penjurus dunia, makin membawa keyakinan diri Singapura atas kemampuannya, bilamana perlu dengan menundukkan Indonesia.

Sekalipun Singapura mampu dan janji “meminjamkan” milyaran dolar kepada pemerintah Indonesia, banyak orang asing, orang Singapura, dan orang kita sendiri tidak menyadari bahwa dana tersebut sebenarnya berasal dari dana milik masyarakat Indonesia yang disimpan sebagai deposito di berbagai bank Singapura. Tidak disadari banyak orang bahwa dana itu yang sekarang “dimiliki” warga negara Indonesia sebenarnya berasal dari pinjaman-pinjaman bank swasta di Indonesia, dan bahwa bank-bank swasta Indonesia tersebut mendapat dana-dana dari Bank Sentral B.I. yang sebenarnya bukan hak mereka untuk memilikinya karena dibantu oleh para pejabat kotor. Bangsa Indonesia-lah yang sekarang wajib mengembalikan dana-dana tersebut yang kini “dana milik minoritas” dan kroni-kroni Order Baru.

Perkiraan banyak “pengamat” bahwa pengusaha Tionghoa “menguasai” ekonomi Indonesia dan ekonomi kita “hancur” karena modalnya “dibawa lari keluar negeri” adalah sesuatu yang tidak benar (nonsense). Pertama, mereka hanya berperan di perdagangan dan distribusi barang, dan ekonomi bukan terdiri dari perdagangan saja. Kedua, mereka dapat berperan karena diberi kesempatan dan wewenang untuk menguasai dunia perdagangan dan distribusi oleh para pejabat kotor, seperti Pak Liem menguasai dan memonopoli gandum dan trigu. Ketiga, sumber kemampuan dana mereka, termasuk kemampuan mereka memancing dana non-Indonesia, berasal dari bank swasta Indonesia yang dimiliki oleh saudara-saudara atau kawan-kawan dekat pemilik bank swasta Indonesia, yang asalnya dana Bank Indonesia, yaitu uang masyarakat. Kemampuan memonopoli trigu membuat Indofood menjadi perusahaan terbesar dunia produsen mi instan, dan adanya dana pancingan yang diberi pejabat perbankan Indonesia kotor memberi kemampuan grup Pak Liem memancing dana non-Indonesia mendirikan Pacific Investments yang mampu membeli 75% saham sebuah perusahaan telkom Filipina. Modus operandi ini di gandakan ber kali-kali oleh ribuan pengusaha grup Orba sehingga Indonesia terpuruk, tapi mereka-mereka yang tadinya “kondektur bis” menjadi kaya. MO serupa ini pun dibahas oleh Kwik Kian Gie selama 4 jam di depan dengar-pendapat DPR.

Tanpa ada deposito-deposito tersebut yang berasal dari Bank Sentral Indonesia, tidak ada cerita Singapura meminjamkan “dana bantuan”. Bangsa Indonesia terjerumus kepada keadaan semacam ini, diejek orang luar di Singapura dan negara lain, karena berkat korupsi besar-besaran dan tersimpannya dana korupsi ini di berbagai bank di luar negeri yang kembali lagi ke Indonesia berupa pinjaman yang sangat memalukan ini.

Bahwasanya orang biasa di masyarakat Singapura mengatakan kepada orang Indonesia: “Kenapa kamu tidak bisa bereskan korupsi, gejolak dimana-mana dan kotamu kotor, ‘ndak seperti Singapura ...” adalah contoh tidak sadarnya orang semacam itu bahwa Singapura sebenarnya ibarat usaha perhotelan berlantai 3, dan Indonesia berlantai 211. Sudah pasti jauh beda segala-galanya. Namun, semuanya ini adalah karena kita dijerusmuskan oleh orang-orang kita sendiri yang korupsinya luar biasa besarnya – nomor 3 ter-korup dari 235 negara yang ada di dunia.

Kekotoran semacam ini perlu dibersihkan, pertama untuk kepentingan kita semua di Indonesia dan supaya kita tidak diejek di luar negeri karena sementara ini kita memang pantas diejek karena ketidakmampuan kita untuk membereskan semua ini karena pimpinan kita tidak berdaya. Atau lebih tepatnya belum mengalami ketidak beresan ini dan belum menyadari bagaimana jalan keluarnya.

Siapa yang berani melakukannya, dan siapa pandai dan mampu menyangkal (atau menerima) kritikan-kritikan yang mungkin dilontarkan pihak-pihak yang cemburu dan tidak suka karena “kepentingannya” (vested interests-nya) di rong-rong?  Pimpinan kita – dan pimpinan yang “berani” menyusun pemerintahan yang bersih. “Berani” karena tidak mudah, dan perlu “keberanian” menyusun pemerintahan yang mampu melawan arus yang sering menyepelekan kepentingan 211 juta orang.

Akibat Rendah Diri*
Sikap rendah diri patut diadakan untuk para senior dan sesepuh kita. Tapi karena sikap rendah diri tersebut dilontarkan kepada dunia luar, kita dianggap oleh dunia luar seakan-akan tidak memiliki apapun untuk bangga diri, dan karenanya kita dianggap memang tidak memiliki potensi atau kemampuan apapun.

Karena sikap kita ini, kita lebih sering membela diri di forum-forum internasional, seperti maling yang membela diri sehingga dunia yakin kita pasti salah besar, walau kesalahan belum tentu ada. Kalaupun ada kesalahan tidak sebesar apa yang diduga.

Seperti yang dialami di Timor Timur bahwasanya kita telah membunuh “ratusan ribu” warga TimTim, menurut pernyataan resmi Hadiah Nobel (Nobel Peace Prize) kepada seluruh dunia di saat “Hadiah Nobel” 1996 diberikan kepada José Ramos Horta dan Uskup Belo.

Bunyi pernyataan Hadiah Nobel adalah:  “... it has been estimated that one-third of the population of East Timor lost their lives (kita membunuh kurang-lebih 250.000 warga TimTim atau 1/3 warga yang saat itu berjumlah sekitar 750.000 manusia) due to starvation, epidemics, war and terror.”  (Pernyataan Hadiah Nobel tersebut dapat dilihat di alamat internet di http://listen.to/east-timor tulisan oleh Lena Soares yang mengutip homepage Hadiah Nobel).

Sikap pimpinan Hadiah Nobel dari Swedia tidak bijaksana, bahkan kurang ajar ini, ditelan begitu saja oleh seluruh dunia, dan kemudian direkam kembali dan diulang-ulang seperti lagu pop, sehingga Indonesia secara otomatis dianggap negara biadab karena pejabat Indonesia kurang mampu membela bangsanya.

Tidak seperti pimpinan Russia Boris Yeltsin yang sikapnya “Perduli setan Amerika! Jangan lupa kita masih negara adi daya bernuklir ... dan kita tidak suka dicampuri masalah dalam negeri kita ... ” (mengkomentari serangan Chehnya yang dianggap campur tangan dalam negeri Russia oleh Amerika yang ditayangkan di CNN awal minggu ke-dua Des. ’99 di Beijing). Kapan kita bisa menjawab ala-Russia ?  Kapan, kita bisa mengatakan kita punya kemampuan militer ? Russia hanya 120 juta penduduk; kita 211 juta.

Ini harus wujud untuk generasi penerus kita karena kita bukan orang bodoh yang tidak bisa membereskan ketidakadilan dan pelanggaran HAM terhadap bangsa kita sendiri. Seakan-akan bangsa Indonesia ini tidak punya kebudayaan yang mengenal prekemanusiaan dan tidak mengenal apa itu HAM? Dan harus di “paksa” pula oleh bangsa lain yang pernah membunuh 6 juta orang Yahudi dan 1.1 juta orang Vietnam dan lupa mereka sendiri pernah melanggar HAMnya jutaan orang.

Maka kita dihujat di dunia internasional mengenai Tim-Tim, seperti di hujat oleh negara tetangga sendiri yang jumlah penduduknya hanya 1/10 jumlah penduduk kita.  Bahkan yang sering muncul dan menarik perhatian di dunia adalah gejolak dan pelanggaran HAM oleh ABRI di berbagai daerah sehingga masyarakat kita sendiri di daerah ingin mencontoh apa yang pernah terjadi di Timor Timur dengan menuntut pemisahan dari Republik.

Sangat logis bila kita diperlakukan oleh dunia luar sebagai negara yang tidak punya arti sebab sikap dunia berpangkal dan bermula dari sikap kita. Kita perlu merobah sikap diri, mulai dari pejabat kita s/d pendidikan anak-anak kita di sekolah-sekolah SD.

Lebih banyak masyarakat dunia, termasuk pejabat negara asing yang baru menjabat dan pejabat lama asing seperti Bill Clinton, tidak menyadari lokasi Timor Timur di bumi Indonesia. Masyarakat dunia tidak sadar – bahkan banyak masyarakat kita sendiri pun tidak sadar – bahwa wilayah Indonesia menyamai wilayah Inggeris, Eropa Barat, Eropa Timur dan sebagian dari Timur Tengah dan bahwasanya lebarnya adalah 5,600 kilometer, dan bahwasanya untuk terbang dari timur ke barat melebihi 9 jam, hampir dua kali lipat penerbangan Amerika Serikat yang hanya memerlukan 5.5 jam. Statistik ini saja menganggumkan bagi mereka yang menyadarinya.

 Statistik lain yang menganggumkan perlu di sodorkan dan dipromosikan – mulai dengan pendidikan di tingkat SD.

Kita sebagai negara nomor 4 terbesar dunia dari 235 negara yang ada, punya hak untuk “merebut” reputasi dan peranan kita menjadi negara adidaya. Kita harus bersikap sebagai negara adidaya, dan berbicara di mana-mana kita adalah negara adidaya (minimal bicara potensi kita walau keadaan kita sementara ini sangat terpuruk), dan bahwa kita memiliki potensi besar karena jumlah penduduk muda kita dibawah umur 30 tahun sebanyak 150 juta manusia adalah besar, dan kita memiliki kekayaan alam. Semua ini adalah fakta/kenyataan, bukan impian di siang hari bolong.

Barat Menguasai Media Masa & Media Elektronik*
Negara-negara barat Amerika (CNN, NBC, CBS, AP/Associated Press, Wall Street Journal, The Washington Post, dan lain-lain), Inggeris (Reuters, The Times, Guardian dan lain-lain), dan media milik Rupert Murdock (Australia, walau negara kecil) menguasai dunia media secara global karena kemampuan teknologinya, dan oleh karena negara-negara non-blok bersedia di “dikte” oleh media masa ini.

“Di dikte” didefinisikan sebagai kemauan kita untuk membaca, mendengar dan dipengaruhi berita-berita mereka. Didikte atau tidak, sangat tergantung kepada sikap kita bersedia didikte atau tidak.

Ada pun cara-cara membuat pemasok berita bingung, baik itu seorang wartawan terkenal maupun seorang duta besar negara asing. Salah satu caranya adalah memberitahukan kepada sumber berita: “Saya tidak gubris berita itu...banyak yang salah...”  Kata kuncinya atau keyword-nya adalah “tidak percaya” (sekalipun dihati kecil kita mungkin ada benarnya juga, hal mana tidak perlu diungkapkan).

Kita harus selalu ingat bahwa pemasok berita adalah seorang saja, lengkap dengan prasangka, praduga dan apriorinya. Pemasok berita dari media terkenal dunia diantaranya CNN, terdiri dari 1 tim dengan hanya 3 atau 4 manusia. Sekalipun berita-beritanya diucap dan dijadikan seakan-akan “surat” dari sebuah Buku Suci, sering kali, berita-berita itu hanya menyerempet kebenaran, bukan kebenaran. Berita-berita pers bukan surat-surat Al-Koran atau Buku Injil.

Pengalaman membuat pemasok berita bingung ini juga diperoleh dari pengalaman di lapangan sebagai mantan wartawan media asing di London, Paris dan Koln, diantaranya sebagai seorang mantan kantor berita asing meminta kepada teman-teman di kantor pers dunia di London dan Paris untuk memberi liputan yang netral, tanpa dibumbui “dictatorial” government saat meliput Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX yang berkunjung ke London pada tahun 1966.

Media internasional barat inilah memiliki nyawa sendiri yang mempengaruhi pemerintahan barat dengan laporan-laporan yang berat kepada kepentingan negara barat dengan interpretasi dari kacamata kebudayaan barat.

Bicara mengenai pelanggaran hak azasi manusia, media barat hampir tidak ingat bahwa negara-negara barat-lah yang telah membunuh 6 juta orang Yahudi dan 1.1 juta orang Vietnam. Kecuali The International Herald Tribune yang sering mengingatkan kepada pembaca-pembacanya bahwa dunia barat bukan pada tempatnya mengkritik Indonesia mengenai HAM karena “kita sendiri dosa melakukan pelanggaran HAM”.  Belum lagi sebelum Perang Dunia ke-II saat Inggeris dan Portugal membunuh ribuan orang Cina yang hasilnya sangat mempermalukan Cina dan Cina terpaksa menyerahkan Hong Kong dan Macau.

Ada dua cara media masa barat dapat di tundukan, secara individu seperti digambarkan diatas. Pertama mendekati mereka dengan cara menjelaskan keadaan kita di Indonesia seperti cara halus seorang duta besar, penuh diplomasi dan rendah diri seperti penulis sebagai wartawan ANTARA meminta kepada para mantan rekan asingnya di London dan Paris  “jangan menghujat bangsa-ku dan pimpinan-ku” di saat tahun 1965an, yang telah penuhi.

Atau cara kedua, dengan cara yang lebih cepat dan pasti, yaitu mengambil alih saham mayoritas di dalam perusahaan mereka dengan berbagai cara, antara lain dengan cara halus sampai dengan paksa atau hostile takeover.

Setelah diambil alih – apakah dengan cara perlahan-lahan atau secara “kasar”, para redaksinya diberi instruksi untuk menghilangkan cara-cara peliputannya, seperti liputan yang memojokkan Indonesia dengan liputan “the Indonesian military government ...” yang memojokkan kita, diganti dengan “the Indonesian Government ...” yang bersikap lebih netral dan tidak dibumbui dengan pandangan “military” si peliput. Bila redaksi tidak nurut, ya ia dipecat karena kemampuan sebagai pemilik. Salah satu contoh sasaran adalah TIME WARNER, INC. “ibunya” CNN.

Walau kelihatannya mustahil, tetapi Indonesia memiliki potensi dan kemampuan, asal kita sanggup menggarapnya karena di dunia barat banyak “spesialis” yang kerjaannya hanya mengambil alih perusahaan saja.

Kemampuan ini dibuktikan dengan kemampuan Indonesia membubarkan IGGI dan menggantikannya dengan CGI pada tahun 1991. IGGI tidak jauh beda dengan IMF. IGGI adalah versi bantuan negara multilateral membantu satu negara, dan IMF adalah juga bantuan negara multilateral membantu banyak negara.

Kemampuan ini telah di perkuat oleh Micheal Camdessus, pimpinan IMF pada tanggal 31 Oktober, 1997, yang menyatakan di dalam konperensi persnya di Washington D.C., Indonesia “memiliki kolateral substansial di luar negeri” yang mendukung pinjaman IMF. Perlu diketahui kolateral “substansial” ini bukan dimiliki oleh pemerintah R.I.

Kemampuan kita untuk membayar hutang luar negeri tidak sepuruk seperti yang telah digambarkan. Hanya kita semua harus menyadari bahwa akses kepada kekayaan yang disebut-sebut Camdessus tidak akan begitu saja dicairkan oleh para pemegang kolateral yang bekerjasama dengan institusi perbankan internasional, baik IMF atau institusi keuangan lain, sebagai para pelaksana.

Para pemegang kolateral tersebut tidak bersedia dananya dikorup oleh pejabat nakal untuk memperkaya diri dan mempuruk keadaan rakyat, dan dana segar di tambah lagi tanpa memburu dan mengadili yang mengkorup dana masyarakat itu. Ibarat saudara kita mencuri uang, kita ganti uang itu, dicuri lagi, kita ganti lagi tanpa kunjung selesai. Atau digunakan untuk menembaki rakyat kita. IMF, bank dunia dan bantuan-bantuan lain oleh para pelaksana hanya mengikuti instruksi para pemegang kolateral yang disebut Camdessus (dan hal ini memang sulit di pahami dan dipercayai bagi mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan dan pengalaman) mengenai keterangan ini.

Meningkatkan Kemampuan Masyaralat Melalui ...
1. Teknologi Pertanian
2. Teknologi Komunikasi Antar Penduduk *
3. Pendidikan Tradisional Menjadi “Pendidikan Kreatif”
Meningkatkan Kemandirian Masyaralat Melalui Kemampuan Alami
Kemampuan masyarakat untuk bermandiri perlu disadari dan ditingkatkan oleh pemerintah dengan kemampuan alami kita karena tidak diperlukan biaya besar. Bukan dengan pandangan banyak orang bila datang dari luar negeri, otomatis pasti lebih baik, tanpa menguji terlebih dahulu apakah benar semua teknologi dari luar negeri otomatis lebih baik.

Contohnya adalah pariwisata. Pariwisata bersumber dari kemampuan alami masing-masing daerah dan sukunya, dan kekhasan kebudayaan suku ini dapat menghasilkan dana untuk daerahnya. Wisatawan tidak perlu dari luar negeri saja karena banyak orang kita dari daerah lain mampu berpariwisata. Kepariwisataan berpangkal dari kemampuan alam masing-masing suku yang mempromosikan dirinya. Banyak kemampuan alami yang serupa, tinggal mencarinya saja dengan bantuan mereka-mereka dilapangan yang bergerak dibidang itu.

Sikap Lebih "Pintar" Pemerintah Pusat Menghambat Perkembangan
Untuk mendapat kemampuan sejenis ini, tidak perlu mencari jauh-jauh. Perlu kemampuan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk lebih banyak mendengar sumber dari mereka yang di lapangan. Bukan bersikap pemerintah pusat “lebih tahu” daripada masyarakat di lapangan, kelemahan besar yang dialami sejak Indonesia merdeka.

Sikap “lebih pintar” dan sikap “bapakisme” selama ini yang di lontarkan kepada masyarakat kita menimbulkan sikap menyembah pejabat seperti seorang raja.  Karena sifat menyembah ini (yang juga dilahirkan oleh pemerintahan Belanda sebelum Indonesia merdeka), pejabat bodoh pun berkelakuan seakan-akan ia mengetahui semuanya.

Padahal di lingkungan masyarakat sebesar 215 juta manusia lebih banyak dari lingkungan orang biasa yang jauh lebih pintar, dan jauh lebih berpengalam di semua bidang, terkecuali mungkin di bidang pelaksanaan pemerintahan karena mereka tidak memasuki dunia pemerintahan.

Tidak mungkin dan tidak masuk akal bilamana dari 215 juta manusia, orang-orang pintar kita hanya mangkal di pemerintahan saja. Lihat saja para pimpinan kita sekarang, Gus Dur dan Megawati Soekarno Putri bukan saja dari lingkungan masyarakat biasa, melainkan sering di asingkan seperti Keluarga Besar Bung Karno.

Orang-orang pintar ini jarang mau memasuki lingkungan pemerintahan karena mereka lebih baik mencari nafkah sendiri, menjadi kaya sendiri dan bukan berlomba untuk menjadi “pejabat kaya” supaya ia basah dengan uang korupsi. Bahkan ada pula anggota masyarakat kita “bangga” berkenalan dan merasa perlu “dekat” dengan pejabat kaya. Pejabat kaya, yang memiliki Mercedes Benz mata kucing, yang mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri yang pada dasarnya kemampuan materi tidak sesuai dengan penghasilannya, dapat dipastikan ia mencuri uang. Tidak perlu bangga berkenalan dengan maling.

Apakah ada pihak yang tidak berkenan dengan kalimat tersebut diatas? Ada baiknya apabila pejabat yang ia kenal di periksa pada kemudian hari yang sering dilakukan di negara-negara di luar negeri. Untuk hal-hal semacam ini, kita perlu mencontoh luar negeri. Mungkin pada pemerintahan berikutnya, akan ada pemerintahan bersih yang mampu menengok 15 - 20 tahun kebelakang menyeret mereka yang kotor dan pernah melanggar HAM orang kecil. Seperti halnya kita harus “bersih” sebelum sholat atau sembayang, negara kita-pun harus bersih dan tidak ada getaran negatif dan dendam oleh rakyat kecil yang dilindas, sebelum Pencipta kita memberi Ridhoinya.

Orang-orang pintar ingin hidup tenang dan dapat tidur nyenyak, daripada di perintah oleh oknum-oknum pejabat yang sebagian besar tidak mengetahui apa yang mereka sedang kerjakan karena susunan pemerintahan kita sedemikian rupa yang memerintah kebetulan ada pada posisi yang tepat pada saat yang tepat pula. Menjadi seorang Pejabat pemerintah bukan jaminan mutu ia qualified untuk menduduki jabatan itu. Bahkan sering kali oknum berlomba untuk menduduki jabatan supaya bisa mengeruk uang ilegal dan tidak haram karena jabatan mereka sering kali harus dibeli dengan uang banyak, sehingga para-sponsor mereka tentu meminta uang sponsorship tersebut dikembalikan dalam bentuk kontrak dengan cara tidak wajar dan cara-cara lain. Timbul-lah kronisme, korupsi dan ketidak adilan bilamana ada yang mengutak-atik.

Orang-orang dari lingkungan masyarakat seperti Gus Dur, Megawati dan Amien Rais merasa perlu berperan apabila pemerintahan yang sedang berkuasa keterlaluan buruknya. Selamat kepada mereka. Namun, masih banyak lain yang belum di bersihkan dan belum dibenarkan. Semoga generasi para kepemimpinan berikutnya lebih tegas.

Ekspor Sebagai Penunjang, Bukan Andalan
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Ekspor barang jadi dan barang industri Indonesia adalah penunjang dan bukan andalan masyarakat untuk bermandiri. Ekspor bukan andalan negara seperti yang didambakan sekarang ini oleh para “ahli” ekonomi. Sebelum tahun 1980an, Amerika Serikat telah menjadi kaya bukan karena ekspornya, melainkan karena daya beli rakyatnya. Semua hasil produk industrinya diserap rakyatnya. Sebelum tahun 1970an, pemesan barang listrik apapun yang meminta supaya dapat menggunakan 220VAC tidak digubris. Apalagi membuat kendaraan dengan stir kanan seperti yang digunakan di Indonesia. Produksi kendaraan Amerika untuk tahun 1999 adalah 17 juta, dibanding dengan 170 ribu produksi Indonesia. Kita tidak perlu terlalu pintar dan mencari segala macam teori. Contoh saja mereka yang pernah berhasil dengan modifikasi dimana perlu untuk iklim dan keadaan Indonesia. Maka patokan intinya adalah: perkuat kemampuan rakyat kita. Benar memerlukan waktu, tapi meningkatkan kemampuan ini mengurangi kejolak ekonomi dan tekanan dari luar.

Keandalan ekspor sangat tergantung pada para pelaku eksportir. Pada saat krismon 1997 telah terbukti bahwa para eksportir tersebut tumbang.

Ditambah pula, bahwa masyarakat biasa tidak langsung mendapat manfaat dari hasil ekspor perakitan kendaraan, di bidang perakitan baju dan ekspor di industri-industri lain, karena masyarakat Indonesia tidak langsung menikmati hasil ekspor tersebut yang dihasilkan oleh pengusaha ekspor (dan hasil industri ekspor lainnya), terkecuali secara tidak langsung, dan apabila pengekspor kebetulan bermangkal di daerah mereka.

Yang bertambah kaya adalah para eksportir secara individu, seperti perusahaan Texmaco. Belum tentu masyarakat Indonesia mendapat manfaat dari hasil ekspor itu, terkecuali hanya sejumlah pegawai pabrik bertambah dan lokasi pabrik mendapat manfaatnya. Buruh pabrik pun sering melontarkan demonstrasi ketidak puasannya dengan pabrik-pabrik mereka, bukti bahwa bukan semua pabrik memberi manfaat bagi buruhnya. Malah pemiliknya yang tambah kaya.

Berapa puluh ribu pabrik – dan berapa ratus ribu pabrik-pabrik harus Indonesia bangun? Berapa lama diperlukan? Apa jaminannya para eksportir tersebut terus-menerus berada untuk kepentingan bangsa? Apakah mereka kebal terhadap gejolak ekonomi seperti Krismon 1997? Dan apakah mereka benar-benar membayar pajak-pajaknya untuk anggaran negara sesuai hasil ekspornya?

Pimpinan Memberi Kail Untuk Mencari Ikan
Bila kemampuan masyarakat di tingkatkan – walau memerlukan waktu – akan timbul jauh lebih banyak potensi menjadi eksportir yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan orang. Bila satu tumbang, akan ada yang lain yang mengambil tempatnya. Masyarakat kita, sekalipun pendidikan formalnya belum selesai, memiliki kemampuan alami yang perlu kita kembangkan.

Dari jumlah tiap 100 orang, ada yang jompo, ada yang baru lahir, ada yang malas, dan ada yang tidak memiliki pendidikan formal. Namun pasti ada sekitar minimal 20 orang dan bahkan lebih yang memiliki pendidikan sekalipun tidak tinggi, yang memiliki kemampuan alami dan memiliki faktor-faktor lain yang perlu digarap.

Maka diantaranya yang perlu ditingkatkan adalah masyarakat bermandiri secara nasional dengan mengembangkan kemampuan yang tidak tergantung pada bantuan dunia internasional – baik bantuan IMF dan bantuan pendanaan internasional lainnya, dan tidak tergantung kepada adanya atau tidak sebuah pabrik ekspor di daerahnya – karena adanya kemampuan alaminya yang didasarkan kemampuan individu dan kelompoknya.

Potensi ini yang perlu dikembangkan bermula dengan sikap: masyarakat kita bukan orang-orang bodoh.

Untuk dapat membangun kemampuan individunya, maka pimpinan negara harus mengindentifikasi sarana-sarana apa yang harus dikembangkan. Ibarat pimpinan negara memberi kail untuk memancing, dengan cara meminta advis para ahli pembuat kail, dan masyarakat mencari ikannya sendiri.

Komponen Yang Diperlukan*
Untuk dapat meningkatkan kemandirian masyarakat ini diperlukan berbagai komponen, yaitu: komponen teknologi, kemampuan manusianya, komponen sikapnya melalui pendidikan yang sesuai, dan kemampuan dananya untuk dapat memandu dan menkristalisasi tujuan ini.

Setelah komponen-komponen ini mulai memberi ketenangan dan kehidupan stabil, baru dimulai peningkatan pada kemampuan “ristek & pengembangan” untuk mengurangi ketergantungan kepada “pengetahuan” (teknologi) luar.

Teknologi dalam kontext ini adalah teknologi pertanian, teknologi komunikasi sebagai sarana hubungan antar berbagai golongan masyarakat supaya lebih terkordinir, dan sikap pendidikan kepada masyarakat biasa yang menjurus pada perkembangan kreativitas manusia yang dapat memadu semua komponen ini.

Teknologi – didefiniskan disini sebagai “pengetahuan” bukan semata-mata barang jadi seperti halnya barang jadi hasil ekspor atau barang impor.

Teknologi pangan dari luar belum tentu lebih unggul untuk daerah pertanian Indonesia terkecuali setelah di uji di Indonesia. Bila sumber teknologi persenjataan, telekomunikasi, dan komputerisasi, teknologi asing jelas unggul. Untuk ini Indonesia perlu teknologi asing.

Teknologi Pertanian
Teknologi Pertanian diperoleh dari berbagai negara untuk kebutuhan peningkatan sumber pangan, yaitu beras, tanaman-tanaman lain yang dapat di peroleh dari Filipina, Malaysia, Amerika Serikat dan Australia.

Contoh pelaksanaan “teknologi pertanian” adalah berbagai pihak swasta Australia (yang tidak bersikap seperti pemerintahan P.M. Howard) telah menawarkan berbagai sumber teknologi berdasarkan penilitian yang pernah dilakukan di Indonesia oleh berbagai peneliti. Dari penilitian yang dilakukan di Indonesia, ditambah dengan pengetahuan yang diteliti dari luar negeri, panduan pengetahuan ini melahirkan teknologi (pengetahuan) yang bermanfaat bagi Indonesia.

Teknologi ini meningkatkan mutu dan meningkatkan hasil panen tanaman-tanaman yang ada di Indonesia. Penilitian ini meningkatkan efisiensi kerja dengan merobah cara bertanam agar panennya bertambah dan tidak memerlukan dana besar karena cara menanam yang berbeda. Pengetahuan teknologi yang telah di uji di Indonesia dan bukan pembiayaan mahal untuk membeli perangkat keras, adalah salah satu contoh dan sumber untuk mendapatkan kemandirian masyarakat biasa. Teknologi ini juga meningkatkan kemampuan petani kita untuk mengadakan makanan ternak sehingga Indonesia tidak tergantung lagi dan terpaksa mengimpor telor, daging ayam dan ternak-ternak lain.

Teknologi Komunikasi Antar Penduduk*
Teknologi telekomunikasi adalah tumpuan dari semua negara, baik negara industri dan maju, negara-negara industri baru (newly industrialized nations) dan negara yang sedang berkembang.

Bila sarana ini berhenti total selama satu jam saja, semua hubungan perdagangan, telepon biasa & telepon genggam, semua transaksi perbankan kredit-debit, ATM, dan keamanan nasional dan kegiatan seperti pengaturan listrik lewat komputer yang praktis tidak pernah kita perhatikan, menghadapi bahaya tidak berfungsi. Keandalan pada sarana telekomunikasi ini telah menjadi sangat diperlukan untuk kehidupan kita sehari-hari.

Telekomunikasi Adalah Katalisator Pembangunan
Program pembangunan telekomunikasi ini adalah program katalisator, yaitu program yang dapat meningkatkan segala kegiatan ekonomi di bidang apapun, dari usaha perorangan sampai dengan usaha konglomerat swasta dan pemerintah daerah, dan pemerintah pusat – ibarat program menyerahkan kail kepada masyarakat kita untuk mencari nafkah sendiri.
Akan Menyentuh 140 Juta Orang Biasa Di Seluruh Indonesia
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Program pembangunan infrastruktur sebanyak 70 juta saluran telpon, atau 26 telepon per 100 penduduk selama 20 tahun (sampai pada tahun 2020) akan menyentuh 140 juta manusia biasa karena diperkirakan 2 orang akan menggunakan tiap saluran.

Jumlah 70 juta saluran tersebut masih sangat rendah di banding dengan densitas nasional Australia (94% per 100 kepala keluarga), Singapore, Hong Kong (50-60% per 100 penduduk) dan U.S.A. (diatas 70% per 100 penduduk – atau sekitar 180 juta saluran telepon) dibanding dengan hanya 5.9 juta saluran di Indonesia untuk 211 juta penduduk, atau 3.5% densitas nasional s/d November 1999.

Program ini disusun oleh swasta pada tahun 1986 dan kini telah berusia 13 tahun, dan telah diminta penjelasannya secara resmi oleh Departemen Parpostel pada tanggal 8 Agustus, 1988. Setelah diberi presentasi oleh penyusunnya pada tgl. 26 Agustus, 1988, pemerintah mengadopsi program kerja tersebut pada tanggal 31 Agustus, 1988. Konsep program kerja ini kemudian melahirkan berbagai usaha lain di bidang pertelevisian swasta, penyelenggara sarana telpon dan telpon genggam, jalan tol, perlistrikan dan usaha-usaha swasta lain yang sebelumnya di monopoli pemerintah.

Program pembangunan ini di utamakan untuk 140 juta orang biasa yang memiliki hasil panen, atau hasil kerajinan tangan dan hasil-hasil kecil serupa yang dapat dipasarkan diluar daerahnya melalui sarana telekomunikasi yang mampu membawa order, membawa pembeli hasil panenya dan lain sebagainya.

Secara global program pembangunan ini memiliki potensi mempromosikan hasil karya 70.000 “pusat ekonomi” berupa pedesaan di seluruh wilayah Nusantara yang akan dibangkitkan karena adanya sarana telekomunikasi murah yang dapat dijangkau orang biasa dengan potensi membawa kemampuan orang biasa untuk saling dagang kepada sesama desa di dalam negeri, ke perkotaan, dan ke dunia internasional.

Karena sarana telekomunikasi juga mampu membawa gambar, membawa segala macam informasi, bahkan pada kemudian hari dapat ditingkatkan ke sarana internet yang mampu membawa segala macam pendidikan yang berguna bagi orang-orang kita di seluruh wilayah Indonesia, diharapkan sarana ini – dari yang sangat sederhana menjual hasil panen seorang petani sampai dengan meningkatkan efisiensi kerja perusahaan besar maupun efisiensi administrasi pemerintahan – dapat mendorong setiap orang untuk menjadi mandiri.

Program pembangunan ini mengangkat potensi  kemampuan orang biasa untuk mengangkat diri untuk bermandiri dengan initiatif sendiri untuk berusaha – baik secara kecil-kecilan atau dengan cara besar-besaran.

Program pembangunan ini berguna dan melancarkan usaha seorang petani yang ubinya (udangnya, berasnya, kacang metenya, dan lain sebagainya) dijual kepada pembeli didalam lingkungan koperasi dan pembeli lain, bagi kantor kelurahan dan Puskesmas yang perlu menghubungi kantor pemerintahan atau sumber medis lainnya, maupun usaha raksasa seperti kilang minyak yang memerlukan bahan baku untuk pengeborannya.

Menimbulkan Kemampuan Masyarakat Untuk Menyerap Hasil Karyanya
Karena adanya sarana murah kemandirian inilah yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat kita, secara akumulatif akan menjadikan negara kita tidak terlalu tergantung kepada dunia luar karena masyarakat kita secara luas nantinya mampu mengembangkan potensinya di bidang apapun dan karenanya juga dapat menyerap hasil produksi nasionalnya dari hasil kemampuannya itu.

Di bidang ekonomi, administrasi pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah dan sebaliknya, keperluan serta keterangan kesehatan dan lain sebagainya dengan adanya sarana hubungan yang cepat kegiatan-kegiatan tersebut dapat berjalan dengan efisien dan sangat mengurangi biaya-biaya pelaksanaan dan operasional lainnya.

Peranan dari sarana telekomunikasi sama dengan peranan jaringan listrik karena hampir semua kebutuhan dirancang dan di gerakan dengan sistim perlistrikan daya tinggi dan rendah, dan sarana telekomunikasi.

Sarana sambungan diharapkan turun ke sekitar Rp 30-50.000 per satuan sambungan, dan tarif lokal sebesar Rp 30 s/d 40 per 3 menit dari tarif monopoli Telkom yang kini Rp 300.000 per sambungan dan Rp 165-175 per 3 menit.

Meningkatkan Ketahanan Terhadap Gejolak Ekonomi
Pembangunan jaringan infrastruktur sampai ke tingkat 5,600 kelurahan dan ± 70.000 desa yang diharapkan dapat menjadi “pusat kegiatan ekonomi lokal” di seluruh wilayah nusantara dimaksud untuk menunjang berbagai program pembangunan swasta nasional dan pemerintahan di daerah terpencil dan desa.

Pembangunan sarana komunikasi akan mengembangkan ekonomi lokal, dan karena adanya pengembangan ekonomi lokal tersebut akan meningkatkan pula kesejahteraan orang banyak di 70.000 desa dan daerah terpencil lainnya dengan meningkatkan hubungan antara sumber hasil tani di desa dengan pasar di kota, dan kemudian hubungan ke tingkat internasional.

Hasil tani yang terjual di 70.000 desa tersebut (walau hasil penjualnya bernilai hanya Rp 100.000 per tahun) secara akumulatif pada kemudian hari dapat meningkatkan kemandirian, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan terhadap gejolak yang dialami mayoritas penduduk Indonesia pada krisis ekonomi tahun 1997.

Biaya Terjangkau - Tidak Ada Isolasi Telepon
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Biaya sambungan direncanakan sebesar Rp 30-50.000 per sambungan, atau sesuai keadaan setempat. Bahkan dapat di tiadakan karena abonemen sebesar Rp 5.000 s/d Rp 15.000 akan di pungut tiap bulannya, tergantung per kapita tiap daerah.

Tarif pemakaian dapat diturunkan menjadi Rp 30 s/d 40 per 3 menit, atau sesuai keadaan per kapita setempat, bukan diharuskan Rp 30-40/3 menit, dan jelas bukan tarif Rp 150-165 per 3 menit P.T. Telkom yang sekarang berlaku dan mencekik orang biasa.

Untuk hubungan lokal antara kode area yang sama (saling berhubungan didalam kode area yang merupakan daerah sentral sama) tidak akan dikenakan tarif pulsa per menit melainkan tarif sambungan yang besarnya sama dengan 1 pulsa karena sentralnya sama. Pemakai dapat berbicara di telponnya berjam-jam dengan dipungut hanya satu kali tarif lokal sebesar Rp 30-40 saja. Hubungan antara sentral lain diluar sumber penilpon dapat dikenakan tarif lokal sebesar Rp 30-40 per 3 menit.

Semua tarif dan lain sebagainya ditentukan sesuai kemampuan konsumen karena konsumen yang loyal kepada penyelenggara jasa telpon bermula dari penyelenggara yang memperhatikan kemampuan dan keinginan konsumennya.

Isolasi sarana telekomunikasi tidak diadakan karena isolasi ini ibarat bunuh diri bagi usaha telekomunikasi. Bila hubungan SST (satuan sambungan telepon) “A” di isolasi karena “A” tidak melunasi tagihannya, maka bila SST “B” menilpon ke “A”, biaya sambung/pulsa SST “B” tidak dapat dipungut. Walau “A” tidak dapat menilpon, memutus hubungan “A” sehingga “B” tidak dapat menilpon adalah menghilangkan sumber yang diperoleh dari “B”. “A” toh tidak dipungut pulsa walau telponnya tidak diisolasi bila ditilpon oleh “B”.

Maka, kenapa BUMN telpon menghilangkan potensi dari sumber “B” ?  Apakah karena perlu memberi “pelajaran” kepada konsumennya ?  Apakah karena BUMN bersikap “kita lebih tahu”, “kita yang berkuasa” sikap yang masih dianut pemerintahan kita saat ini yang merugikan BUMN telpon sendiri ?

Realitas dilapangan akan memodifikasi kebijakan ini, misalnya asal pelanggan “A” tetap membayar abonemennya telponnya berkisar dari Rp 5.000 s/d Rp 15.000 per bulan tergantung daerahnya, telponnya tidak di isolasi dan ia tetap dapat menerima semua panggilan walau ia belum melunasi tagihannya yang sudah lama belum dibayar.

Tagihannya dapat di cicil, seperti kebijakan Telkom sekarang. Bila pelanggan “A” tidak membayar abonemen Rp 5.000-Rp 15.000 tersebut, tentu ia tidak memerlukan sarana SST ini (misalnya karena rumah tidak dihuni), maka SST “A” dapat di isolasi sesuai keadaan setempat supaya SST tersebut dapat digunakan oleh orang lain.

Banyak orang menganggap sementara ini pejabat kita, diantaranya BUMN Telekom milik Pemerintah, sebagai pejabat bodoh dengan dilihatnya contoh tersebut. Pejabat yang tidak bersedia mengoreksi diri dihadapan kenyataan yang berupa 1 + 1 = 2, karena tidak ada jawaban lain kecuali = 2, adalah benar pejabat bodoh dan perlu diganti dengan mereka yang memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir secara sehat demi pembangunan negara kita.

Wujudnya Proyek Besar Telkom Tergantung Suasana Politik Stabil & Bersih
Sebuah yayasan swasta Indonesia yang memiliki perusahaan pelaksana, memiliki hubungan dan kemampuan untuk membangun sarana telpon masuk desa (maupun membangun usaha-usaha lain), memasang tarif maupun sambungan murah, dengan bekerjasama dengan berbagai kalangan perbankan “prime bank” di luar negeri (di Inggeris, Swiss dan beberapa negara lain) yang mewakili deposan-deposan besar di bank-bank mereka. Penentu adanya dana ini bukan dunia perbankan, melainkan para deposannya. Bank hanya pelaksananya, bukan pemilik dana.
Dana Besar Bisa Masuk - Asal Tidak Ada Pungutan Ilegal
Wujudnya usaha telepon dan usaha besar lainnya sangat tergantung oleh pemerintahan Negara yang bersih, tidak main cekal dana besar yang masuk ke Indonesia, seperti berbagai pengalaman lapangan dimana dana besar milik orang tidak dimasukan kedalam rekeningnya, malah dimasukan kedalam rekening bank BUMN atas nama instansi pemerintah atau nama bank BUMN yang sering terjadi dan dialami oleh banyak orang kita maupun asing di saat Order Baru.

Sekalipun pemerintah memungut biaya yang resmi dan menyusun peraturan pemerintah resmi dan di anggap “legal”, selama pungutan ini tidak masuk akal dibenak orang, pihak asing (maupun pihak Indonesia sendiri) tetap menganggap pungutan ini “ilegal” dengan konsekuensi investor asing (dan investor Indonesia) memilih investasi di negara lain.

Mereka tidak niat – dan tidak ada waktu – untuk “menggurui” pejabat Indonesia. Dengan sikap pemerintah sementara ini “lebih tahu” dan tidak atau belum menyelesaikan masalah masalah korupsi seperti di Bank Bali dan bank-bank yang memberi pinjaman kepada anak perusahaannya dan kemudian disimpan di luar negeri, dan masalah-masalah bank-bank lain secara sungguh-sungguh, maka dana besar engan masuk sebelum lapangan kerja meyakinkan dan dapat dipercaya.

Dana besar dari berbagai sumber dunia dapat masuk ke Indonesia asal tidak dipungut segala macam pungutan dengan berbagai dalih seperti “pajak informal” sebesar 40% bahkan sampai dengan 60% sebelum usaha berjalan. Sehingga bila yang masuk 100, sisanya yang dapat digunakan menyusut menjadi 40 s/d 60 saja.

Kelakuan-kelakuan semacam ini memberi julukan Indonesia sebagai negara nomor 3 “paling korup” dari 235 negara yang ada di dunia. Suatu julukan yang sangat memalukan sekali bagi semua orang dan terhadap prestige bangsa Indonesia.

Pemilik Dana Besar Punyai Motivasi
Para pemilik dana besar mempunyai motivasi cukup logis, pertama, bermula sebagai seorang wiraswasta, bukan seorang administrator.  Kedua, wiraswastawan memiliki ide dan visi, dan ide ini terbang ke mana-mana.  Wiraswastawan menuntut perobahan demi kebaikan dan wujud visinya.

Sebaliknya, seorang administrator terpaku pada lingkungan yang diatur dengan segala macam peraturan, seperti di lingkungan militer atau dilingkungan dunia perbankan.

Seorang wiraswasta ide-idenya cukup luas, sehingga bila ada peraturan pemerintah yang menghambat, ia memiliki keberanian melobi supaya peraturan itu dapat dimodifikasi bahkan dihapus, bukan terpaku dan tidak berdaya dan ide-idenya gugur begitu saja. Bahkan sampai bertahun-tahun pun seorang wiraswastawan gigih memperjuangkan keyakinannya sampai menjadi nyata.

Para pemilik dana besar (para deposan besar di bank-bank, bukan bankirnya sendiri) memiliki “motivasi” membiayai proyek besar “telepon masuk desa” ini karena menyangkut kepentingan banyak orang.

Mereka tidak akan membangun ratusan hotel mewah berbintang 5, membangun ratusan pabrik semen, membangun ratusan kilang minyak, membangun ribuan pabrik pupuk, atau membangun puluhan ribu kilometer jalan tol karena tidak jelas siapa yang menggunakan dan mampu membayar penggunaan sarana-sarana ini sebab rakyat Indonesia saat ini belum mampu.

Nilai proyek “telepon masuk desa” ini sama dengan membangun ratusan kilang minyak, ratusan hotel mewah, ratusan pabrik pupuk dan puluhan ribu jalan tol secara sekaligus karena anggaran sebesar US$ 150 (seratus limapuluh) milyar dalam waktu 20 tahun.

Bagi pemilik dana milyaran dolar, makin banyak orang yang mendapat manfaat dari dananya – dan proyek ini bermanfaat bagi 140 juta manusia – makin besar potensinya bagi dananya untuk berkembang. Bahwasanya Indonesia adalah negara nomor 4 terbesar dunia merupakan salah satu faktor penentu.

Keuntungan lebih terjamin karena menyangkut banyak orang. Para pemilik dana ini merasa dananya akan lebih aman pula karena kemungkinan ada gejolak dalam tubuh 140 juta manusia lebih kecil daripada bila dananya ditanam di sebuah proyek yang menyangkut hanya kepentingan sekelompok orang diatas piramida masyarakat yang berjumlah 1 s/d 2 juta orang saja.

Pemilik dana besar tidak bertumpu pada pemikiran dan perhitungan dunia perbankan saja yang didasarkan studi kelayakan yang kaku, seperti pertimbangan bagaimana bila ada gejolak ekonomi yang dialami Indonesia dengan “krismonnya” (yang tidak terjawab oleh para ahli ekonomi), dan pertimbangan macam-macam skenario bilamana nilai rupiah anjlok, bila ada “revolusi”, bila ada penggantian pemerintah dan lain sebagainya (yang juga tidak bisa dijawab oleh para ahli ekonomi) karena bank bertanggung jawab kepada deposan/pemilik dana.

Pemilik dana memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebuah bank, yaitu menentukan apakah dananya dikembalikan atau tidak, dan dikembalikan atau tidak adalah wewenang pemilik. Untuk pendanaan proyek telkom ini, dana tidak perlu dikembalikan. Putusan pemilik dana untuk tidak mengembalikan dananya cukup logis sebab dana yang tersimpan di negara asalnya akan dikenakan pajak tinggi s/d 45% s/d 90% tergantung negara asal dana ini. Dan dana yang kembali hasil investasi dapat dikenakan pajak pendapatan yang tinggi pula.

Daripada di kenakan pajak tinggi, maka pemilik dana besar lebih pilih untuk mengadakan investasi yang berguna bagi rakyat besar dan sekalian mengangkat prestige pribadinya karena ia mendapat teman banyak yang telah dibantu. Selain membantu orang, ia dapat pula mengurangi kewajiban pajak karena investasi di luar negeri tersebut.

Pendana besar umumnya orang-orang senior diatas usia 50 tahun, bahkan sampai 95 tahun, lebih terbuka membantu orang lain daripada mereka yang masih muda dan baru mulai kehidupannya.

Kekwatiran dan pertanggungjawaban pemerintah dan negara Indonesia “mengembalikan” dana besar ini kepada dunia luar negeri dan faktor “hutang” yang membawa Indonesia pada krisis moneter sejak tahun 1997, tidak ada.

Masuk akal atau tidak keterangan ini, sangat tergantung kepada “dasar pengetahuan” serta “dasar pengalaman” yang menilai ini. Tanpa ada knowledge base dan experience base tersebut yang dihimpun selama hampir 14 tahun dan pertemuan dengan 2,300 manusia, diantaranya 1,500 orang asing yang membicarakan hanya mengenai proyek telepon masuk desa dan dana besar, maka sulit bagi mereka yang tidak mengalami ini memahami masuk akal atau tidak informasi ini.

Dana untuk keperluan proyek telkom di Indonesia yang disediakan seakan-akan milik orang Indonesia. Tidak perlu di konversikan kembali kepada mata uang dolar atau mata asing lainnya karena keyakinan pihak Indonesia mata uang rupiah pada kemudian hari akan menjadi sama kuatnya dengan nilai mata uang dolar, yen dan mark Jerman pada 20 tahun mendatang.

Membangun sarana telekomunikasi untuk 140 juta manusia yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup orang-orang kita, dan meningkatkan pula potensi 140 juta manusia untuk kemudian hari mampu berkembang, bermandiri dan kemudian membeli sarana dan jasa yang pemilik dana bersama ribuan pengusaha-pengusaha Indonesia lainnya akan bangun pada kemudian hari, adalah motivasi yang cukup besar bagi pemilik dana besar.

Dari pembangunan sarana telekomunikasi saja pemilik dana besar akan mendapat keuntungan, apa lagi dengan potensi yang dapat dikembangkan dengan lahirnya ribuan pengusaha Indonesia lainnya yang sebagian besar akan menjadi “teman-temannya”.

Selain dari kestabilan usaha karena pasarnya 211 juta manusia, yang di harapkan oleh para wiraswastawan pemilik milyaran dolar adalah hubungan yang kait-mengkait dengan usaha-usaha lain, kestabilan politik dalam negeri karena mereka tidak perlu gejolak yang membahayakan investasinya, dan hal-hal serupa yang belakangan ini mencemaskan rakyat Indonesia.

Selain motivasi usaha dan keuntungannya, pemilik dana besar mencari teman politk stabil, yaitu mencari kawan yang tidak terpaku kepada satu unsur masyarakat, melainkan unsur yang pasti – yaitu yang loyal kepada semua masyarakat tanpa dibumbui politik kelompok, dan bukan karena ia presiden sebuah negara, atau karena ia pejabat tinggi. Seorang presiden yang menjadi kaya dimata pendana besar jelas korup yang dapat berarti pula bahwa presiden tersebut akan mencuri uang pemilik dana tersebut pada kemudian hari. Seorang presiden yang sebelumnya kaya atau mendapat kepercayaan milyaran dolar, sangat kecil kemungkinan ia mencuri dari negaranya.

Diadakan dana besar bermilyaran dolar bertumpuh pada kepercayaan pada pribadi calon penerima dan penerima dana. Bukan karena adanya kolateral karena tidak ada kolateral cukup besar yang menyamai kepercayaan pada diri pribadi seseorang, dan bukan kepercayaan kepada sebuah institusi karena menyangkut banyak orang yang bukan semua orang didalamnya dapat dipercaya.

Mereka menyadari bahwa di tiap negara, apalagi negara besar dan cukup nasionalis seperti negara Indonesia, masyarakatnya enggan “dibeli” orang asing.  Maka mereka mencari mitra-mitra yang pantas dan dapat dipercaya untuk mengelola dana besar tersebut seakan-akan dana tersebut milik orang Indonesia karena pemilik dana asing tidak dapat muncul, dan sering kali tidak bersedia muncul sebagai pemilik karena potensi cemburuan sosial dan lain sebagainya.

Turun Ke Tingkat Masyaralat Biasa
Pemilik dana besar menyadari  investasi yang di tanam tidak akan lenyap karena pemasangan tarif dan biaya sambungan rendah tersebut. Mereka sadar bahwa supaya berhasil mereka harus mampu turun kepada tingkat daya beli orang kecil. Bukan seperti Telkom “memaksa” orang kecil naik ke tingkat yang ditentukan monopoli pemerintah yang seharusnya melindungi kemampuan rakyat Indonesia. Sehingga Telkom menghadapi keseimbangan pada pemasagan SST baru dan pencabutan SST lama. Ini bukan usaha bila 100 orang memasang 100 SST baru, tapi di sebrang jalan 100 SST lama dicabut.

Telkom bangga meraih keuntungan Rp 1.6 trilyun pada tahun 1998. Bagi orang lain, Telkom seharusnya malu ia “memeras” rakyat biasa karena rakyat biasa tidak ada pilihan lain. Alasan bahwa Telkom harus menyumbang pada pemerintah dana sebesar Rp 1 trilyun tiap tahun karena ia BUMN dan menjadi  salah satu “sapi perah” untuk anggaran pemerintah kurang tepat.

Dari peningkatan efisiensi kerja Telkom, dan mengurangi sedikit saja korupsi besar-besaran di lingkungan pemerintah, BUMN ini tidak perlu menyumbang satu sen pun, dan keuntungan ini dapat dikembalikan kepada masyarakat dengan bentuk tarif yang lebih murah. Kalau Singapore, Hong Kong dan negara lain dapat melakukannya, tidak ada alasan apapun P.T. Telkom tidak dapat juga melaksanakan penurunan tarif.

Indonesia Baru perlu memikirkan rakyat sebesar 211.000.000 manusia. Bukan segelintir manusia di lingkungan Telkom yang hanya berjumlah 50.000 orang.

Usaha pembangunan 140 juta manusia ini telah di rancang dan di pertimbangkan secara matang oleh Yayasan pemilik perusahaan tersebut selama 13 tahun sejak tahun 1986 dan kelayakan rencana tersebut di konfirmasi oleh berbagai kalangan internasional terkenal dan berpangalaman mengelola puluhan juta SST serta perbankan internasional yang bersedia kerjasama.

Para praktisi skala besar telah menguji konsep dan maksud program kerja ini dengan teliti.

Potensi ini selama Orde Baru belum dapat dikembangkan secara normal dan sesuai rencana karena gangguan-gangguan yang ada di saat pemerintahan Order Baru, termasuk diantaranya paksaan halus oleh yang berkuasa untuk mengalihkan usaha ini dari para pengusaha murni yang enggan dikuasai oleh mereka yang tidak menyumbang apa pun kepada yang berkuasa.

Akibatnya salah satu pemilik dana besar ini karena memiliki kepentingan bernilai ratusan juta dolar di Indonesia yang sedang berjalan, terpaksa meminta persetujuan tertulis dari mitra usaha yang pertama dan janji menggagalkan usaha dengan yang berkuasa dengan cara halus pula dengan mitra dari kalangan yang berkuasa yang dipaksakan kepada mereka dengan cara harus menyetor dana tunai. Padahal sebelumnya, salah satu pemilik dana besar tersebut bersedia membiayai 100% dari usaha sebesar US$ 7 milyar dengan tahapan pertama sebesar US$ 1.2 milyar dengan menyerahkan saham mayoritas sebesar 60% kepada pengusaha Indonesia. Sementara itu, pengusaha pertama pemegang saham 60% tersebut yang telah memasukan akte notariel 60% saham Indonesia dan 40% saham asing ke BKPM, telah membuat janji-janji kepada mitra-mitra lain di Indonesia untuk saling bantu-membantu dan terpaksa menangguhkan perjanjian-perjanjian ini karena sumber pendanaannya telah dirusak oleh gangguan tersebut.

Rencana Investasi
Biaya pembangunan minimum untuk sarana telkom dan usaha penunjangnya adalah US$ 150 milyar dollar Amerika untuk 70.000 juta saluran berikut segala sarana pendukungnya termasuk jaringan satelitnya dalam waktu 20 tahun yang disebarluaskan dan digunakan di berbagai industri lokal yang berbeda-beda.

Tidak ada komisi dan ‘uang muka’ di bayar di muka sebelum diadakan pekerjaan, praktek-praktek selama ini yang di cela dunia internasional dan menghambat pembangunan negara pada umumnya dan menghambat pelaksanaan proyek ini pada khususnya.

Pendidikan Tradional Menjadi Pendidikan "Kreatif"
Keberhasilan dari sebuah sistim pendidikan dimanifestasikan pada keberhasilan para lulusannya mencari nafkah. Makin besar yang berhasil mencari nafkah makin berhasil sistim pendidikan tersebut. Apakah mereka menjadi pejabat, pengusaha atau pegawai semuanya harus berhasil mencari nafkah sesuai dengan pendidikannya.

Bukan menghasilkan ratusan ribu lulusan yang menjadi penganggur setelah keluar dari sekolah karena dapat dipastikan mereka menjadi penganggur karena pendidikannya tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.

Bahwasanya mereka menjadi penganggur adalah manifestasi ada sesuatu yang tidak beres pada sistim pendidikan mereka yang menghasilkan mind set (care berpikir) yang tidak sesuai dengan keadaan nyata di lapangan hidup.

Manusia Indonesia terdiri dari bermacam aneka ragam manusia yang memiliki bermacam kemampuan. Mengatakan bahwa seorang tidak dapat menghitung bukan berarti ia tidak memiliki kemampuan lain, misalnya melukis atau menjadi seorang artis unggul. Albert Einstein contoh bagaimana seorang yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya menjadi seorang scientist/ilmuwan yang dikenal diseluruh dunia. Tidak mustahil bahwa ada juga bibit sejenis Einstein tersebut yang perlu digarap.

Menyadari bahwa adanya berbagai faktor yang tersimpan di tiap manusia, maka sistim pendidikan kita perlu mempertimbangkan keaneka ragaman, dan yakin adanya kemampuan potensi generasi muda kita dari segala lapisan masyarakat. Bahwasanya ada seorang anak di daerah kampung jauh dari perkotaan yang pendidikannya tidak tinggi, bukan berarti ia tidak dapat menjadi orang hebat asal ia diberi kesempatan, dan asal pemerintahan kita dengan cara bekerjanya jeli mencari bibit orang-orang yang punya potensi.

Dengan konsultasi dan mendengar para guru dan para murid di lapangan, maka pendidikan dapat disesuaikan dengan keadaan lapangan, yaitu dari bawah ke atas bukan sebaliknya, tentu dengan advis dan saran oleh para ahli pendidikan yang memiliki bermacam corak.

Departemen Pendidikan memberi kebijakan serta patokan-patokannya, dan pelaksaannya diatur dan diserahkan kepada lapangan. Walau cara bekerjanya akan jauh beda antara cara bekerja di NTT dengan mereka di Lampung, yang penting masing-masing daerah berhasil dengan cara-cara mereka sendiri. Definisi “keberhasilan"”seperti disebut diatas adalah sedikit mungkin jumlah penganggur. Pemerintah pusat bukan “dewa” dan tidak tahu semuanya, maka lebih baik pelaksaannya diserahkan kepada mereka di lapangan.

Tiap murid perlu memiliki kemampuan membaca dan menghitung sampai dengan tingkat SMP kelas 1. Setelah tingkat tersebut, pendidikan tiap murid di arahkan kepada kreativitas mereka karena tiap murid menghadapi di lapangan dan melalui keadaan nyata di rumah sendiri.

Peningkatan TNI Menjadi 2.1 Juta Personil - Keamanan Nasional Terhadap Luar - Memasuki Era/Mengambil Peranan Militer Di Dunia Internasional
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Kekuatan Untuk Menghadapi Dunia Luar, Melindungi Dalam Negeri.

Kekuatan Tentara Nasional Indonesia perlu ditingkatkan menjadi 2.100.000 personil, atau 1% dari jumlah penduduk dari jumalah sekarang sekitar 450-500.000 personil, diantaranya 200.000 non-combatants (para pembantu sipil dan personil yang tidak memegang senjata).

Peningkatan kekuatan ini adalah untuk melawan potensi gangguan dari luar negeri, dan meningkatkan kemampuan untuk berperang melawan mush luar negeri, bukan selama ini untuk menengok ke dalam negeri. Peranan baru ini adalah menjaga kedaulatan Republik terhadap potensi musuh asing, bukan menengok ke urusan politik dwi fungsi dalam negeri. Peranan menghadapi musuh luar perlu peningkatan kemampuan TNI, mengingat besarnya wilayah Indonesia.

Kesan negatif oleh masyarakat selama 30 tahun lebih yang mengakibatkan kehilangan Timor Timur dan gejolak di berbagai daerah di Indonesia perlu di hilangkan dengan peranan TNI memasuki era Indonesia Baru dengan memangku peranan baru.

Untuk dapat menuju kepada kekuatan TNI ke dunia internasional ini, TNI perlu merobah diri dari dwi fungsi berobah peranan menjaga kedaulatan wilayah Indonesia dan menjaga kepentingan Indonesia di luar negeri di perairan internasional seperti angkatan bersenjata Amerika dan Russia.

Dengan adanya armada yang jumlahnya besar, negara yang berniat untuk ikut campur di dalam urusan dalam negeri akan mempertimbangkan unsur-unsur kekuatan fisik semacam ini. Dengan kata lain, bilamana Indonesia memiliki kekuatan TNI seperti kekuatan angkatan bersenjata Amerika Serikat atau Russia, negara lain akan pikir-pikir terlebih dulu sebelum ikut campur masalah dalam negeri.

Negara barat menganut kepada falsafah kekuatan angkatan menjamin perdamaian. Ini telah berulang kali terbukti. Falsafah ini adalah hak bangsa Indonesia untuk menuju kepada kenyataan yang serupa.

Negara yang mengadakan pakta pertahanan dengan Amerika Serikat dan Inggeris menunjukkan bahwa mereka sudah punya sebuah “skenario” bila perlu melawan Indonesia. Skenario oleh asing ini perlu dihilangkan dan di netralisir dengan kemampuan untuk menunjukkan gigi yang semua angkatan asing akan segani – bukan saja melalui perundingan dan menunjukkan kesetiakawanan saja yang selama ini dianut oleh pemerintahan order baru, melainkan ditambah dengan menunjukkan kita memiliki armada yang kuat. Banyak negara, terutama negara barat, hanya mengerti kekuatan fisik. Karena kita hidup sebagai masyarakat dunia dan ekonomi dan kekuatan militernya dikuasai dunia barat sementara ini, maka kita harus bertindak sesuai dengan pengertian barat ini.

Pengalaman meningkatkan kekuatan fisik negara terhadap ancaman luar negeri perlu di ikutsertakan unsur-unsur yang memiliki pengalaman dan jam terbang di lapangan dunia internasional melawan unsur intel dan sekuritas dunia internasional.

Unsur-unsur ini bukan saja para atasé militer atau seorang jendral dengan pengalaman perang di TimTim yang pengalamannya terbatas dengan unsur di dalam negerinya, atau menjadi seorang prajurit di tim penjagaan perdamaian di salah satu negara yang sedang bertikai karena pengalaman semacam ini telah diatur oleh pihak lain untuk kepentingan pihak lain.

Kita perlu menjalani hal-hal di dunia internasional untuk kepentingan kita sendiri. Negara asing tidak akan memberi kursus kepada murid asingnya bagaimana melawan kekuatan militer dan inteligensia negara mereka.

Unsur yang memiliki jam terbang sejenis ini, memiliki pengalaman di lapangan – merobah strategi operasional di tingkat internasional karena beberapa kali kegagalan mencapai suatu sasaran di dunia internasional melawan komunisme Eropa Timur, menyusun strategi baru supaya berhasil, diterjunkan langsung secara fisik di daerah operasional ditengah musuh-musuh tidak berseragam, harus mampu menyesuaikan dan menggunakan akalnya demi menyelesaikan tugas dan menyelamatkan dirinya karena unsur bantuan tidak dapat memasuki lapangan operasi, dan menyadari mempertaruhkan nyawanya bilamana tidak berhasil – adalah unsur yang perlu di ikutsertakan meningkatkan kemampuan TNI setaraf dengan angkatan bersenjata dunia.

Teknologi Canggih Untuk Keperluan Dalam Negeri & Angkatan Bersenjata
Teknologi canggih selain bersumber dari sumber tradisional barat dalam rangka bantuan militer, dapat juga di peroleh dari negara-negara bekas Soviet Uni, dan dapat diolah untuk kepentingan Indonesia tanpa syarat dan gangguan mitra tradisional barat.
Teknologi canggih dan para ilmuwannya ditawarkan untuk bekerja di Indonesia – meneruskan sains dan teknologi canggih bekas Uni Soviet – tanpa syarat-syarat yang membebani dan mempermalukan Indonesia seperti syarat-syarat dunia barat dimana pada hari ini ada bantuan, esok harinya ditarik sesuai sikap moril negara barat mereka yang penuh keonaran membunuh 6 juta orang Yahudi dan 1.1 juta orang Vietnam.

Jumlah ilmuwan praktisi dari bekas negara Soviet tersebut berjumlah puluhan ribu manusia dengan teknologi-teknologi tersimpan di benak mereka yang ditakuti Amerika Serikat.

Bagaimana kita dapat menggunakan potensi ini sangat tergantung pada pengalaman di lapangan baik di dunia operasional militer luar dan dalam negeri, pengalaman nyata melawan kekuatan intel komunisme di lapangan, dan lebih penting lagi di dunia keuangan dan cara mendapatkan pendanaannya.

Indonesia memiliki potensi untuk menggunakan mereka sebagai batu loncatan apalagi di pandu dengan pakta pertahanan dengan Daratan Cina dan kemampuan India dengan para pakar canggih di bidang teknologi komputer.

Sudah saatnya, Indonesia menengoh kepada bangsa Asia. Ramalan barat pun meramalkan Asia akan berkuasa di bidang ekonomi dalam 2 dekade ini yang mulai menjadi kenyataan dengan adanya Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua terbesar dunia.

Otonomi Atau Federalisme - Aceh Sebagai Patokan
Masyarakat kita, termasuk unsur-unsur di pemerintah pusat dan daerah, belum sepakat definisi apa yang dapat digunakan sebagai patokan “otonomi”, dan faktor apa yang dapat dikategorikan sebagai “federalisme”. Sekalipun ahli sosial politik dapat mendefiniskan maksud ke dua istilah tersebut, untuk kepentingan negara kita yang sedang dilanda separatisme dan dikendalikan oleh emosi karena pelanggaran HAM di Aceh, rasa sakit hati, dan lain sebagainya di berbagai daerah lain, hendaknya yang di titik baratkan bukan istilah “otonomi” atau “federalisme” melainkan “keadilan” di berbagai bidang kehidupan masyarakat sehari-hari.

Menggunakan Aceh sebagai “patokan ekstrim”, maka kesimpulannya adalah bahwa yang didambakan masyarakat Aceh adalah keadilan, hak azasi manusia, pembagian hasil daerah yang lebih besar dan kebebasan melakukan apa saja yang dihendaki rakyat Aceh dalam batas peraturan dan undang-undang negara.

Hukum Adat Setempat
Walau hukum negara perlu ditegakkan, pemerintah perlu ingat bahwa ada hukum adat yang beraneka ragam. Adat istiadat suku Aceh (dan hukum adat di propinsi lain), perlu dipertimbangkan. Bilamana ada pertikaian di daerah Aceh dengan kacamata adat Jawa, maka masalah ini tidak kunjung selesai dan kita di Jakarta bingung kenapa sih rakyat Aceh rewel banget?

Pada hal melihat kenyataannya, rakyat Aceh menyumbang pada kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam penyelesaian keluhan masyarakat Aceh tidak benar bila seorang hakim (pengamat, pejabat) dari Jawa yang tidak mengenal adat Aceh menentukan dan menyelesaikan pertikaian di Aceh tersebut berdasarkan hukum negara yang dapat bertentangan dengan adat setempat. Maka Negara harus dapat memisahkan antara Hukum Negara yang menentukan bagi semuanya, dan Hukum Negara yang tidak ikut campur adat istiadat Aceh dalam konteks otonomi atau federalisme.

Yang menentukan Hukum Adat adalah rakyat Aceh melalui DPRD Aceh yang perlu di dominasi oleh rakyat Aceh. Hukum Negara tidak dibenarkan campur tangan selama menyangkut adat Aceh (atau Irian, Ambon dan lain sebagainya).

Hukum Negara adalah hukum yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara, termasuk semua rakyatnya. Keadilan yang tuntas yang di dambakan, perlu mempertimbangkan adanya masing-masing adat istiadat yang beda di tiap daerah. Hukum adat dan keaneka ragaman ini perlu di akui oleh Hukum Negara.

Hukum Negara yang berkuasa atas hukum adat adalah, misalnya, tidak mengenal diskriminasi antara suku atau agama. Misalnya, seorang Kristen tidak dapat menjalani ibadahnya karena tempat yang sedang dijalankan kepercayaan itu adalah di daerah lingkungan penduduk agama lain (atau sebalinya). Ahli-ahli hukum, dibantu dengan sesepuh suku, dapat menemukan contoh-contoh lain yang menentukan bahagian mana “bahagian adat” dan mana “bahagian Negara”.

Apabila ada aparat yang melanggar hukum Negara ini, ia segera ditangkap oleh aparat Negara.

Bukan menyembunyikan kesalahan aparat tersebut karena ia anggota apparat, seperti terjadi di Ambon saat aparat menembaki seorang ibu tua dan kelompok 60 orang sipil; di saat aparat memperporaranda sebuah rumah sakit di Jakarta, dan di saat seorang pengacara yang sedang menjalani tugasnya langsung di tangkap dan dibawa paksa oleh petugas tanpa surat penangkapan resmi, yang jelas melanggar ketentuan prosedur aparat tersebut dan hukum Negara.

Aparat yang bersalah dan melanggar hukum tidak pantas dibela dengan sikap “minta maaf” oleh pimpinannya yang masih dianut sekarang oleh penguasa. Atasan perlu segera “mengamankan” aparat bersalah tersebut karena aparat penbegak hukum harus memberi contoh menegakkan hukum, bukan pura-pura tidak tahu adanya hukum yang dilanggar.

Prinsip yang mengalir pada Program Kerja Indonesia Baru ini, yaitu prinsip “keadilan yang sama” (keadaannya di balik), apabila aparat yang melanggar hukum tersebut mendapat perlakuan yang sama, apakah aparat itu bersedia ditangkap begitu saja tanpa prosedur yang benar disaat ia menjalankan tugasnya?

Apakah aparat tersebut bersedia tempat kerjanya diporakporanda oleh pihak lain padahal aparat ini tidak terlibat?  Dan apakah aparat ini bersedia ibunya dan kawan-kawannya yang tidak memiliki senjata ditembaki oleh aparat bersenjata tanpa ada alasan yang jelas?

Diyakini jawabannya pasti tidak bersedia. Maka, bila jawabannya tidak bersedia, apa bedanya dengan orang lain yang menerima perlakuan yang tidak benar ini?

Perlu di ingat kembali bahwa masyarakat yang pernah disakiti hatinya telah memporak randa kantor aparat; telah membunuh aparat (seperti di Aceh), dan telah berbuat bermacam-macam kelakuan karena mereka marah yang aparat tidak berdaya melawannya. Apakah ini yang kita hendaki? Hukum rimba semau gue? Dengan konsekwensi penguasa juga dapat terkena hukum rimba ini?

Keseimbangan Pada Kekuasaan

Kekuasaan Indonesia Baru dibagi pada 3 unsur, yaitu Legislatif terdiri dari MPR/DPR, Ekesekuti terdiri dari Pemerintah, dan Judikatif terdiri dari Mahkamah Agung dan sistim peradilannya.

Lembaga Judikatif berperan sebagai pihak ketiga yang memutuskan perselisihan (perbedaan pandang) antara Legislatif dan Eksekutif. Putusan Judikatif adalah final dan tidak dapat dicampuri Legislatif dan Eksekutif.

Semua pengangkatan pejabat Pemerintah tingkat tinggi perlu mendapat persetujuan dari lembaga Legislatif sebelum memangku jabatannya. Seperti halnya sekarang seorang duta besar dan pejabat tinggi lainnya di screening oleh aparat BAIS yang kini berobah menjadi BIA, data pejabat tinggi tersebut diserahkan kepada Lembaga Legislatif untuk pertimbangan dan persetujuannya.

Kas Negara di tempatkan di Departemen Keuangan, tapi kuncinya dipegang Legislatif/DPR/MPR. Karena yang memberi persetujuan atas pengangkatan pejabat tinggi adalah Legislatif, bila seorang pejabat tinggi Eksekutif (Menteri Keuangan, misalnya) nakal (tentu dengan bukti-bukti yang nyata), Legislatif punya wewenang untuk memberitahukan kepada Eksekutif untuk memecatnya. Bila masalahnya cukup serios dan Presiden tidak memecatnya, Presiden di berhentikan (di impeach/pecat). Bila Presiden keberatan atas pemecatan menteri ini, masalah di putus oleh Judikatif.

Anggaran operasional Judikatif didasarkan undang-undang, dan dapat dipatok berdasarkan sebuah “persentase” anggaran negara supaya tidak dicampuri atau dipengaruhi oleh Legislatif atau Eksekutif, karena patokanya konstan walau jumlahnya bervariasi. Makin kaya Negara R.I., makin besar biaya dana operasional Judikatif, makin besar Judikatif tidak dapat dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif. Makin terpuruk Negara R.I. (karena korupsi besar-besaran, misalnya), makin lebih bermotivasi Judikatif gigih membawa mereka yang bersalah pada sistim peradilan karena dana operasionalnya di grogoti mereka yang kotor. Anggota Judikatif adalah manusia dan tidak kebal terhadap naik-turun pendapatan mereka.

Pada prinsip-prinsip yang mengalir pada program kerja ini, pelaksanaan lapangan – yang pasti akan ditarik oleh beraneka ragam kepentingan unsur kelompok – tetap perlu mematok pada prinsip yang hendak ditegakkan. Pada prinsip “keadilan yang sama” misalnya, pelaksanaan lapangan perlu mematok pada prinsip tersebut karena yang penting adalah hasil nyatanya, bukan berbagai macam kebijakan, peraturan dan teori yang tidak memuwujudkan “keadilan yang sama”.

Hukum, Peradilan & Keadilan*
Hukum & Peraturan berlaku bagi semua, termasuk masalah kecil seperti pajak fiskal untuk keluar negeri.

Bilamana presiden dan wakil presiden keluar negeri, mereka dan semua menteri-menterinya patut membayar pajak fiskal juga. Apakah karena ia presiden maka ia kebal peraturan moneter? Apalagi ia dipilih oleh rakyat? Jawabannya adalah tidak, seperti halnya ia tidak kebal hukum.

Tidak ada pengecualian. Bila rakyat harus bayar, presiden pun harus bayar juga. Kalau presiden tidak bayar, rakyat tidak perlu bayar. Keadilan yang merata yang di dambakan dan di slogankan oleh berbagai macam partai politik saat pemilihan umum tahun 1999 lahir dari sikap masalah kecil. Kalau kita mampu memperbaiki masalah kecil, masalah besar akan pasti diperbaiki. Sikap ini perlu dimulai dan dilaksanakan karena menunjukkan pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan keadilan yang berlaku bagi semua (“tanpa pandang bulu” yang sering di lontarkan).

Pejabat Australia, saat pemerintahannya mengenakan pungutan, memajak dan lain sebagainya, pejabat tingginya-pun (termasuk perdana menterinya) dikenakan pungutan yang berlaku bagi masyarakat biasa, termasuk tidak diperkenankan pimpinan bagian dari Australia berangkat ke luar negeri sebelum ia membayar suatu pajak yang ia belum bayar. Tawaran pejabat tinggi tersebut membayar setelah ia pulang, tidak dapat diterima oleh petugas kecil di airport negara tersebut. Tidak ada pengecualian sebab pejabat diambil dari masyarakat, dipilih oleh masyarakat dan tidak ada alasan apapun ia kebal dari pungutan ini seperti halnya tidak ada alasan ia kebal hukum.

Tiap pejabat negara harus membayar semua pungutan yang berlaku untuk rakyat biasa supaya pejabat yang mengeluarkan peraturan yang mungkin tidak bijaksana ini bisa merasakan sendiri peraturan yang ia keluarkan. Dana ini perlu dikeluarkan dari kantong sendiri, bukan dari anggaran instansinya karena pekerjaan instansinya adalah dalam negeri, bukan di luar negeri seperti halnya seorang diplomat.

Sikap “kamu bayar saya tidak” adalah sikap tidak demokratis, sikap feudalistis, dan sikap bekas jajahan Belanda yang membedakan lapisan masyarakat dengan lapisan lain. Masyarakat Indonesia Baru tidak perlu di jajah oleh bangsa sendiri yang kita pilih untuk memerintah kita.

Mereka yang kaya dan pergi ke luar negeri tidak merasa pungutan Rp 1 juta ini, apalagi bagi mereka pergi makan malam berempat 3-4 kali tiap minggu sudah menghabiskan Rp 4 juta. Yang merasakan adalah pengusaha kecil, dan pengusaha yang sedang mencoba cari pasaran luar negeri. Justru pengusaha kecil ini yang merupakan keandalan pembangunan bangsa kita karena mereka berjumlah ratusan ribu kali jauh lebih besar daripada orang kaya. Ketidak adanya kesadaran inilah yang menghambat pembangunan bangsa kita.

Hukum Negara & Hukum Militer
Hukum Negara berlaku untuk semua pihak. Apakah ia orang biasa, pengusaha, pejabat pemerintah dan personil militer, hukum negara berkuasa atas segala hukum dan peraturan yang di buat oleh kelompoknya. Kelompok militer sebagai salah satu komponen masyarakat tidak memiliki ke-istimewaan. Militer adalah bawahan Negara.

Bila seorang prajurit sampai dengan pimpinan tertinggi militer melanggar hukum, yang bersangkutan dikenakan hukum kelompoknya (militer). Bila ia melanggar hak pihak diluar kelompok militer, hukum Negara berperan. Setelah ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer, yang bersangkutan tersebut dipecat dari dinas militer dan berobah status menjadi orang sipil.

Hukum Negara berlaku dan mulai berperan bila terdakwa merampas hak orang sipil karena tidak ada personil militer tidak dipecat setelah dinyatakan melanggar hukum militer.

Dalam sebuah skenario setelah seorang militer diputus hukumannya oleh peradilan militer karena menyalahi prosedur militer dan adanya korban seorang sipil, maka hukuman selama 2 tahun penjara yang di putus oleh pengadilan militer (misalnya) Pengadilan sipil Negara kemudian mengambil alih peranan dan memutuskan hukuman selama 3 tahun penjara (misalnya).

Pengadilan Negara yang berperan akhir punya hak menetapkan apakah hukuman militer tersebut dijalankan pada saat bersamaan dengan hukuman Pengadilan Negara, atau dijalankan kemudian setelah selesai menjalani hukum militer tergantung oleh situasi/kondisi yang ditetapkan oleh pengadilan sipil/negeri. Yang menetapkan dijalankan secara bersamaan (kurungan menjadi 3 tahun, 2 tahun hukuman militer dijalankan bersamaan dengan 3 tahun hukuman Negara) atau secara terpisah (kurungan menjadi 5 tahun) adalah pengadilan Negara karena pengadilan ini yang mengambil peranan akhir, dan karena hukum negara berkuasa diatas hukum militer.

Menjadi anggota militer lebih berat dan lebih besar pertanggung jawabannya daripada menjadi orang sipil. Tiap prajurit sampai dengan tingkat atasan perlu menyadari ini, dan perlu mengamati dan menyadari konsekuensi dari statusnya sebagai seorang militer.

Narkoba*
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini
Narkotik dan bahan bahaya lainnya sudah memasuki wilayah negara kita dan kita telah dijadikan sasaran, bukan tempat penyinggahan lagi. Pimpinan negara yang sungguh-sungguh bertekad untuk membersihkan racun ini perlu mengalami secara pribadi betapa seriosnya, dan bagaimana rasanya kehilangan seorang putra yang terkena dan telah menjadi korban narkoba ini.

Seorang pimpinan negara yang mengalami ini akan lebih sadar akan hancurnya bangsa penerus kita, bilamana ia pernah mengalami anaknya sendiri terjerumus kedalam narkona ini.

Walau putra ini telah berulang kali keluar dari ketergantungan dengan kemampuan sendiri, karena lingkungan masyarakat sedemikian rupa, putra tersebut berulang kali terjerumus di dalam lingakaran ini sampai pada akhirnya tubuhnya terkena komplikasi lain (bukan karena AIDS) sehingga ia meninggal. Kehilangan seorang putra bungsu berusia 25 tahun bila dialami seseorang tua dan seorang ayah adalah penderitaan yang sangat luar biasa, jauh diatas penderitaan kehilangan seorang ibu dan bapak kandung, seorang adik/kakak kandung, bahkan seorang isteri – dan bahkan para orang tuanya kehilangan harapan untuk meneruskan kehihidupan di bumi ini.

Seorang ayah bila mendapat kemampuan untuk membersihkan racun ini dari tubuh bangsa kita, akan ia kejar sampai dengan tingkat sumbernya di luar negeri. Seorang pemimpin luar negeri lain yang mendengar bahwa putra rekannya dari negara lain telah menjadi korban, akan bersimpati dan mengizinkan ayah tersebut mengejar mereka-mereka yang berlindung di dalam negaranya.

Selain daripada itu seorang ayah yang memiliki kemampuan tersebut, dan menyadari betapa penderitaannya para orang tua lainnya yang kehilangan putra/putrinya, tidak akan memberi ampun kepada aparat yang terlibat, terutama karena aparat tersebut seharusnya menegakan hukum narkoba.

Pengalaman dan dasar pengetahuan kembali mendorong dan memacu seseorang dengan sungguh-sungguh untuk bertindak dan membersihkan racun ini di dalam negerinya karena pengalamannya di lapangan.

Tugas Duta Besar Di Negara Adidaya - Penjual Jasa Untuk Negara
Seorang Duta Besar adalah seorang “penjual jasa”– seorang salesman yang bisa mempromosikan dan membawa aspirasi dan cita-cita negaranya kepada dunia internasional. Ia mempromosikan kemampuan Indonesia – lebih berat kepada positifnya dan mengurangi kelemahannya – dengan cara menjual intangible, yaitu yang tidak dapat dipegang secara fisik, tidak seperti menjual buku atau mobil.

Bukan seperti sekarang para dubes kita ongkang-ongkang kaki saja seperti di tempat peristirahatan. Maka dunia tidak menyadari Indonesia adalah negara nomor 4 terbesar di dunia, sehingga dapat di kritik dan dihujat terus-menerus. Dunia bersikap semacam ini karena kita tidak dikenal. Karena tidak dikenal kita di anggap negara kecil – bahkan negara yang tidak berarti.

Seharusnya, seorang dubes kita bukan seorang theoretician yang mengenal banyak ide dan teori yang belum tentu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.

Maka yang diperlukan adalah seorang pejabat tinggi negara yang memiliki pengalaman lapangan walau sebelumnya ia bukan berperan sebagai pejabat tinggi negara.  Yang pasti seorang duta besar harus aktif, bukan pasif menunggu petunjuk saja.

Tidak Minder Hadapi Asing
Para wakil kita dari tingkat rendah sampai dengan duta besar di luar negeri memiliki kesan ia minder, walau belum tentu dirinya merasa minder.

Wakil kita perlu menguasai bahasa-bahasa asing secara aktif supaya kesan minder oleh orang asing hilang. Tiap tahun saat ia berada di luar negeri ia harus diuji kemampuan bahasanya dan kemampuan lainnya, seperti di dunia militer. Ia tidak mendapat pos di luar apabila ia tidak lulus. Banyak orang lain dari penduduk 211 juta manusia yang pasti bisa.

Para diplomat kita adalah seorang yang mandiri, yaitu seorang yang mempunyai kemampuan untuk tetap berfungsi walau tidak ada dukungan formil dari pemerintahannya. Kemampuan ini akan memberi keberanian bagi diplomat tersebut untuk mencari pengetahuan secara mandiri yang ada di dalam negara yang ia ditempatkan. Semua orang yang berperan sebagai seorang pejabat negara bisa saja hidup dengan tenang karena ada dukungan dari pemerintahnya (gaji, rumah & lain-lain dibayar Pemerintah). Pejabat yang meminta petunjuk terus perlu diganti dengan mereka yang menunjukkan inisiatif.

Kebiasaan duta-besar termasuk Menlu kita sebelumnya, dan wakil-wakil kita – non-militer dan militer – sebagian besar 80% atau lebih yang pergi ke luar negeri sebagai diplomat, sebagai murid perguruan tinggi dan sebagai kunjungan resmi bersikap dan menunjukkan ia minder.

Sikap tidak minder bukan bersuara keras di forum internasional untuk menyembunyikan rasa mindernya, tapi bersuara lembut dengan rasa percaya diri, dapat memandang langsung ke mata orang yang di ajak bicara dengan melontarkan kelemahan-kelemahan sejarah negara yang kritis terhadap Indonesia langsung dimukanya, sekalipun ia presiden Amerika Serikat.

Masalah tidak minder bukan berarti pejabat Indonesia menguasai bahasa Inggeris saja karena banyak anak-anak SMP & SMA di Indonesia dapat berbicara dan menulis seperti anak kelahiran Amerika. Melainkan karena pejabat tinggi kita dapat membawa hal-hal yang bersifat kenagaraan Indonesia dengan menggunakan bahasa asingnya dan dapat menjembatani kebudayaan asing dan kebudayaan Indonesia supaya lahir saling pengertian antara ke dua pejabat tinggi negara asing dan pejabat kita.

Karena kemampuan menjalin saling pengertian ini, maka pejabat Indonesia akan membuat pejabat negara lain tunduk dengan keinginan Indonesia. Bahwa bukan semua pejabat asing bisa berbahasa Indonesia, tetapi tujuan kita adalah kita mau menjadi lebih hebat daripada pejabat tinggi asing.

Lebih penting lagi ia punya kemampuan membela unsur-unsur yang dihujat di Indonesia dengan cara wajar dan masuk akal, misalnya membela TNI karena bukan semua TNI tidak benar – dengan cara mengajukan hal-hal yang Negara Barat dan angkatan bersenjatanya pernah melakukan sendiri. Bangsa Indonesia bukan memiliki monopoli terhadap keonaran dan pelanggaran HAM.

Misalnya, pada saat negara Indonesia di kritik, bahkan di hujat di forum-forum internasional seperti di United Nations di depan Security Council, seorang duta besar, seorang Menlu, bahkan seorang Wapres Indonesia, dapat menjawab dengan kata-kata kurang-lebih sebagai berikut:

"Before I reply to the Council's criticisms and those Western nations critical of Indonesia, I would like to bring to your attention the historical atrocities of the deaths of 6 million Jews and deaths of 1.1 million Vietnamese committed by these nations in the last 50 years, and even historical atrocities committed during the last 250 years in China and Africa. These nations are in no position to criticize Indonesia.

"Indonesia is not perfect – like those nations which committed atrocities are not perfect, and had their own dark periods in their histories. Indonesia is a huge nation–it has become the world's third largest democracy. It's territories cover 5,600 kilometers and this means covering England, all of western and eastern Europe, and most of the Middle East and has a culture some 2000 years old. It is in the process of growth pains leading to a democracy and justice for its people. Huge nations do not commit atrocities.

"Let us therefore find solutions to these problems for the benefit of the common people of Indonesia because the Indonesian nation does not knowingly condone the killing of its own kind. For Indonesia and other Asian, African and South American nations subjected to these atrocities during their colonial periods, criticisms in the chamber of the United Nations are hollow and hypocritical. Let us therefore find a more realistic solution reflecting the gentle people of Indonesia and its culture."

Ucapan semacam ini – disesuaikan dengan keadaan pada saat itu – dengan kata-kata yang cukup halus diucapkan tanpa text seperti Bill Clinton yang dapat mengucapkan pidatonya tanpa text karena keluar dari hati nuraninya.

Ucapan semacam ini tidak menyingung karena mengingatkan kembali fakta-fakta mereka dipaksa untuk ingat. Sehingga yang merasa minder bukan bangsa Indonesia, melainkan Amerika, German, Portugal dan negara-negara lain yang kritis yang pernah membuat ke-onaran dalam sejarah mereka. Ini adalah salah satu contoh.

Dengan keberanian dan menghilangkan sikap rendah diri ini oleh pejabat Indonesia, para diplomat dan pimpinan asing di forum internasional akan lebih berhati-hati mengkritik Indonesia karena mereka akan sadar bahwa para diplomat kita bukan orang-orang lemah lembut seperti pelayan yang “melayani atasan”.

IMF Dapat Di Pengaruhi*
IMF adalah organisasi yang membagikan keuangan kepada negara penerima. Bank Dunia adalah organisasi yang menyimpan aset dan kolateral milik berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada saat mantan wakil presiden Amerika Serikat tiba di Indonesia 2 s/d 3 minggu sebelum mantan presiden Soeharto lengser, ia membawa pesan. Secara ringkasnya, negara Indonesia yang berhutang tidak mungkin di datangi pejabat tinggi asing kalau Indonesia tidak memiliki sesuatu yang diperlukan negara asing. Pengusaha, terutama pengusaha yang memiliki usaha besar dengan jumlah milyaran dolar, lebih jeli memantau hal-hal semacam ini dari pada pejabat tinggi negara.

Keterangan lengkap yang menguraikan informasi ini dapat dibaca di berbagai halaman internet dengan alamat, antara lain, di: https://members.tripod.com/~timor-east/1-Nationsnotattack.html  dengan judul “Major Nations Will Not Attack Indonesia–Like Kosovo & Iraq Because Their Financial Assets Will Be In Jeopardy”.

Membela Indonesia Terhadap Asing di Internet*
Pandangan dan sikap Indonesia Baru perlu bersikap seperti yang tertulis di berbagai halaman internet dengan alamat  internet, antara lain di: http://listen.to/east-timor  yang judul-judulnya adalah berikut:
  1. The 211 Million Gentle People of Indonesia
  2. Clinton: Timor Better Off With Indonesia • Pro-integration: “We have Rights!”
  3. Should The Nobel Peace Prize Committee Be Sued?
  4. Biased Reporting Provokes People
  5. What Motivates Rights Groups & Some Diplomats To Exaggerate, Falsify Atrocities
  6. Very Naive ...
  7. People Only Want To Live In Peace
  8. The Bishop Who Doesn't Recognize Forgiveness – The Australian Daily
  9. The Insolent Australian
  10. A China-Indonesia Alliance
  11. TNI Troops Will Not Attack But Will Retaliate If Conflict Occurs
  12. Domination of The Javanese Character Reality Versus Fiction of International Threats
  13. Major Nations Will Not Military Attack Indonesia To Preserve Self-Interests
  14. Fallacy Of 80% Chinese Economic Domination
  15. Boycotting Indonesian-made Products Will Not Work
  16. Nation Manufactures Its Own Weapons
  17. Indonesians Are Incensed With Treatment of Its Own People
Emal halaman ini ke teman? ... klik ini

suryo@suryo.net

Riwayat Hidup  R. Adji A. Suryo-di-Puro
Curriculum Vitae - English

 Jakarta, 26th. August, 1999 - Alamat RW diInternet: http://come.to/suryo-di-puro
Bayi Adji Jkt. Jan.'42
Nama: Raden Adji A. Suryo-di-Puro
    (Foto kanan Jakarta, Januari, 1942, Ayah R.M. Suryo-di-Puro, bayi R. Adji & Ibunda R.A. Suryo-di-Puro)
    Lahir  : Jakarta, 28 Desember, 1941 (58 tahun pada bulan Des.)
    Alamat : Jalan Gabus No. 36 Kavling 5, Arteri T.B. Simatupang,
    Pasar Minggu, Jakarta 12520
    Alamat E-Mail: suryo@suryo.net
    Alamat Internet Web Page Keluarga
    (Personal Web Page): http://www.suryo.net
    Alamat Faksimili: 62-21-7883-1310
    R.Adji, N.Y. '99
     
  • Pendidikan
    • SD di Jakarta tahun 1945-49 
      Di Roma, Italia, awal tahun 1950-53 
      Di Canada tahun 1953-57 
      Di Jakarta tahun 1957 
      Di Roma, Italia, tahun 1957
      Di Amerika, sebagai penerima bea siswa Fulbright* untuk sosial-politik s/d 1964 
      Di London, journalistis tahun 1964. (Foto kanan Juli, 1999)

Pengalaman Kerja 35 tahun, 1964-1999
Cucu Sam & Kakek
  • Asuransi
    • Lloyd's Insurance dan J.H. Minet’s Underwriters, London 1964.
      (Foto kanan dengan cucu ke-3, Samudra, di N.Y., Agustus, 1999).
  • Journalistik
    • Wartawan berbahasa Inggeris di Agence-France Presse (AFP), Paris, Perancis 1964-65 
      Wartawan berbahasa Inggeris di Kantor Berita Nasional ANTARA, Koln, Jerman Barat 1965-68
      Pialang & stock broker
      Pengusaha pialang stock broker Amerika di Jerman, Swiss dan di Tehran 1969
      Pengusaha pialang & asuransi di Jakarta 1969-71Pendiri Usaha
      Pendiri P.T. Marina Jaya di bidang telekomunikasi radio, pertanian, perdagangan 1972
  • Dosen Pendidikan
    • Asisten Dosen bahasa Inggeris di Universitas Indonesia 1977
  • Dosen Pendidikan - Pemerintahan
    • Dosen/Pembantu Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara 1978 di Sekretariat Negara, dibawah Staf Ahli Mensesneg.
      Pembantu, Staf Ahli Mensesneg, Sekretariat Wakil Presiden 1978-80, diantaranya sebagai staf pengajar/dosen bahasa.
  • Organisasi
    • The operativeIkut menyusun Kadin Timur Tengah pada saat belum dibentuk Kamar Dagang Timur Tengah di Kadin Pusat. (Foto kanan circa 1978-80)
  • Kerjasama dengan Pemerintah
    • Mengusulkan kordinasi dan terlaksana perobahan frekwensi Dep. Hankam untuk berbagai angkatan bersenjata agar bisa saling berkomunikasi tanpa tukar-menukar pesawat 1979-1981. 
  • Kontraktor & Suplier Departemen Hankam & Departemen2 Lain
    • Pengadaan keperluan personil angkatan bersenjata & pemasangan sarana telekomunikasi radio untuk Dep. Hankam, khususnya POLRI, di 1,700 lokasi lebih mencakup areal 5,600 kilometer diseluruh Indonesia yang kemudian dipergunakan untuk Pemilu 1978-1984, dan pengadaan untuk Dep. Pendidikan & Kebudayaan 1978-1986. 
  • Investasi Pribadi Untuk Kepentingan Pemerintah
    • Mengadakan sarana telekomunikasi dengan biaya sendiri, investasi serta pemeliharaan melalui perusahaan (PT Marina Jaya) untuk Sekretariat Negara dan kantor kepresidenan R.I. diluar jalur komunikasi kepresidenan/Paswalpres resmi untuk keperluan Tamu Negara/Tamu Kepresidenan 1980-85
  • 1986 Menyusun Konsep Pembangunan Nasional 60 juta Manusia
    • Menysun konsep pembangunan nasional dengan cara meningkatkan kemampuan orang biasa untuk dapat berkomunikasi secara murah dan terjangkau karena pemasangan 30 juta satuan sambungan telepon (SST). 
      Tiap 1 SST akan dipergunakan oleh minimum 2 orang.
      Menyentuh langsung ± 60 juta orang dengan potensi mengembangkan diri bagi tiap orang.
      Sarana ini akan permudah penjualan hasil panen/hasil usahanya secara langsung ke pasarnya di sesama desa di daerah lain, di kota besar, dan langsung ke pasaran internasional. Biaya investasi US$ 62 milyar dalam 20 tahun. 
      Meningkatkan kemampuan untuk mensejahterakan diri di tiap lingkungan melalui peningkatan keadaan ekonomi di lingkungannya. 
      Menciptakan lapangan kerja di pedasaan. 
       Memperlancar sarana komunikasi pemerintahan pusat ke tingkat I & II, dan sebaliknya.
  • 1986 Menciptakan Konsep Pola Bagi Hasil (PBH) Untuk Mengatasi Monopoli Pemerintah
    • Pola Bagi Hasil (PBH) tahun 1986 di rencanakan sebagai sarana pembawa program peningkatan kemampuan orang biasa dimana swasta berpartisipasi di lingkungan monopoli pemerintahan dengan prinsip:  (1) swasta membangun, (2) pemerintah mengoperasikannya sebagai monopoli dengan atau tanpa peranan investor, dan (3) hasil investasi swasta di bagi dengan pemegang monopoli. 
      Melobi pemerintah R.I. supaya konsep partisipasi swasta di terima 1986-1988.
      Mendapat berbagai dukungan resmi/tertulis dari berbagai perusahaan multi-nasional di bidang telekomunikasi dengan konsep PBH 1988-1999.
  • Diminta Pemerintahan-pemerintahan Asing Menjelaskan PBH
    • Diundang ke ibu kota mereka melalui para duta-besarnya menjelaskan konsep PBH, antara lain di Warsawa, Polandia dan Rumania karena monopoli di negara-negara tersebut mirip dengan susunan pemerintah R.I. 1988-89.
  • 1988 Mendirikan Sarana PBH
    • Mendirikan PT CellFone Nusantara sebagai sarana Pola Bagi Hasil, Januari 1988. 
      Undangan resmi Sekjen Parpostel tgl. 8 Agustus, 1988 No. PB.103/2/3/.PTT meminta penjelasan konsep PBH. 
      Presentasi resmi selama 55 menit tgl. 26 Agustus 1988 di pandu oleh Sekjen Dep. Parpostel & dihadiri oleh 115 pejabat teras (Irjen & para direktur instansi) yang mendaftar dari 3 BUMN, Bappenas, Dep. Industri dan Parpostel, dan tanja-jawab selama 3.5 jam, seluruhnya 4.5 jam,
  • 1988 Konsep PBH Diadopsi Pemerintah
    • Konsep PBH diadopsi pemerintah R.I. tgl. 31 Agustus 1988 dengan keluarnya surat resmi Menko Ekuin No. 49/MPPT/VIII/88 untuk percobaan atau pilot project, menunjuk 5 perusahaan termasuk P.T. CellFone Nusantara. Konsep PBH menjadi dasar usaha lain di bidang TV, komunikasi seluler, jalan tol, perlistrikan, dll. dimana swasta berpartisipasi didalam lingkungan monopoli, dan kemudian istilah PBH menjadi BOT, KSO dan lain-lain dengan prinsip PBH, partisipasi swasta dan pembagian keuntungan.
  • 1994 Lobi Supaya Monopoli Telkom Dibubarkan - Menghapus PBH, BOT & Lain-Lain
    • Supaya monopoli telkom di bubarkan dan diadakan operator yang bersaing dengan tarif yang berbeda. Tarif tertinggi ditentukan pemerintah. 
      Supaya biaya pemasangan & tarif sarana telekomunikasi dan tarif pulsanya di sesuaikan dengan kemampuan daya beli rakyat.
  • 1994 Peningkatan Program Kerja Nasional Dari 60 juta Menjadi 140 Juta Manusia
    • Peningkatan sasaran program kerja tahun 1986 (pembangunan 30 juta SST dengan investasi US$ 62 milyar), ditingkatkan menjadi 70 (tujupuluh) juta SST di 70,000 desa di 5,600 kelurahan pada 20 tahun mendatang. Sasaran densitas nasional adalah sebesar 26%. (dibanding densitas tahun 1999 hanya 2.3%). Peningkatan program kerja diadakan oleh tim konsultan dari Amerika, Kanada, Inggeris, dan Indonesia dengan biaya survai sebesar US$400,000. 
       
    • Alamat Internet menjelaskan Program Peningkatan 140 juta manusia dapat dilihat di internet http://go.to/cellindo atau http://go.to/cellfone (versi bahasa Inggeris).

    •  
    • 1996 Satu Pendiri Perusahaan CellFone Mengundurkan Diri

    • Satu dari 3 pendiri  yaitu Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pemegang saham sebesar 10% PT Cellfone Nusantara, menyatakan keluar dari lingkup perusahaan tahun 1996 (terlaksana 1997), dan saham sebesar 90% di ambil alih oleh Yayasan Suryo-di-Puro
      Peranan Yayasan tersebut mendorong pejabat pemerintah R.I. untuk memperhatikan dan mengadopsi konsep PBH yang menghasilkan usaha-usaha bidang lain yang dimonopoli pemerintah (dasar usaha lain di bidang TV, komunikasi seluler, jalan tol, perlistrikan, dll.).
  • 1997 Tokoh Nasional Nahdatul Ulama & PAN Mendukung Program Pembangunan 140 Juta Manusia
    • Pendukung konsep pendayagunaan 140 juta orang biasa dengan investasi swasta luar negeri di didukung oleh Gus Dur dari Nahdahtul Ulama melalui konsep kerjasama tertulis yang disusun N.U. dan perusahaan/Yayasan Suryo-di-Puro. Pendukung konsep, Amien Rais, sebagai Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) mendukung program pembangunan nasional, kedua-duanya pada tahun 1997. 
      Pejabat teras yang mendukung program kerja adalah Lt. Jen Hendro Priyono saat ia menjabat di Bina Graha Okt. 1998.
  • Mendapat Kepercayaan Investasi 100% Oleh Asing–Saham Indonesia 60%
    • Tahun 1992 s/d 1999 mendapat kepercayaan dari berbagai pendana internasional (pendanaan murni tidak terkait dengan produsen peralatan atau operator telkom) untuk seluruh proyek sebesar 70 juta SST diluar dana operator dan produsen peralatan, asalkan dana yang masuk di Indonesia tidak di cekal, tidak di korupsi, atau hal lain yang sering terjadi di saat jaman pemerintahan Soeharto.

      Tahun 1998 pendana internasional murni, dan berbagai perusahaan multi-nasional, diantaranya Lucent Technologies Pusat USA (bukan Lucent di Indonesia) dari Amerika Serikat, menandatangani kerjasama notariel dengan Yayasan Suryo-di-Puro diwakili pemegang saham mayoritas/pemilik Lucent dimana Lucent Pusat akan memasukan investasi sebesar US$ 7 milyar, dengan tahapan pertama sebesar US$ 1,25 milyar yang permohonannya dimasukan ke dalam BKPM. Lucent, dahulu bernama Western Electric, dan kemudian AT&T Laboratories, adalah perusahaan tertua dan terbesar dunia bidang ristek & teknologi berusia 130 tahun, dahulu bagian dari perusahaan telekomunikasi terbesar dunia AT&T dan mendapat 8 hadiah Nobel bidang teknologi, telah mendemonstrasikan teknologi ISDN canggih tanpa kabel di Telkom Surabaya selama 3 bulan bersama kami sebagai mitra usahanya yang direncanakan untuk pemasangan di seluruh Indonesia. 

      Pihak kami (Indonesia) mendapat 60% (enam puluh persen), dan Amerika 40% dengan modal keseluruhannya sebesar 100% (seratus persen) diadakan oleh Lucent. 

      Usaha patungan ini merencanakan subsidi proyek selama 10 tahun agar pemakai di desa tetap 
      dapat menjangkau tarif pulsa murah.

      Tommy Mandala Putra kemudian ikut campur, kami melepas peranan ini, dan Lucent pindah ke Tommy berdasarkan kesepakatan dan persetujuan tertulis kami sebagai pihak yang dimodali Lucent. Perusahaan multinasional tidak rela di dikte. Karena berbagai kepentingan di Indonesia yang telah beroperasi (mis. pabrik sentral otomat AT&T di Krawang), mereka tunduk kepada keluarga presiden. Tommy kemudian diharuskan membayar saham 30% secara tunai oleh Lucent, dan sisa 70% oleh Lucent. Usaha US$ 7 milyar gagal 6 bulan kemudian dan tidak dapat dilanjutkan karena setoran modal tunai yang diminta tidak dapat diadakan oleh putra presiden, Tommy. Sebelumnya, kami (Yayasan Suryo-di-Puro) mendapat saham 60%, dibiayai 100% oleh Lucent.
       

  • Telah Bertemu Dengan 2300 Orang–Diantaranya 1300 Asing
    • Selama 12 tahun sejak tahun 1987-1999 telah bertemu dengan kurang lebih 2,300 (dua ribu tigaratus) pengusaha asing dan Indonesia, diantaranya 1300 orang asing. Motivasi orang asing adalah proyek telekomunikasi ini adalah terbesar di Indonesia dan terbesar di dunia, serta dianggap masuk akal oleh para operator yang telah biasa menangani belasan juta saluran telepon (karena membantu meningkatkan peranan orang biasa di negara nomor 4 terbesar dunia. 

      PBH diakui oleh Bank Dunia bulan Juni 1997 di kutip dari berbagai media massa internasional, termasuk The Jakarta Post  “...perkembangan dunia telekomunikasi di daerah Asia menjadi pesat berkat adanya pola bagi hasil ...”, sebagai sarana yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi Asia, “... jauh diatas investasi di bidang manapun ...”.
       

  • Jenis Permodalan Yang Diadakan
    • Di bidang telekom dari semua perusahaan operator dan pembuat/pabrik peralatan telekom dunia, berbagai diantaranya yang telah membuat perjanjian/niat tertulis.
      Pemilik dana international yang berperan sebagai pendana atau wakil pemilik dana.
      Pelaksana pemilik dana (dunia perbankan) seperti chairman of the board, direktur, para manager cabang dari berbagai perbankan internasional termasuk dari Swiss.
      Pengawas pemilik dana seperti pengacara keuangan, akuntan publik, dan konsultan keuangan pendanaan asing.
  • Usaha Tetap Dilanjutkan Sampai Dengan Wujud
    • Usaha  tetap dilanjutkan sampai monopoli telkom dapat dibubarkan.
      Tiap operator dapat menentukan tarif dibawah tarif telkom karena saingan tarif. 
      Tiap orang menikmati sarana komunikasi yang sesuai dengan daya beli masyarakat.

Pribadi - Keluarga
Minou & Adji '97
  • Isteri, Minou Fateme Suryo-di-Puro, Ibu Rumah Tangga, usia 57 tahun
    • dari Tehran, Iran, seorang cicit keturunan Shah (Raja) pada Dinasti Kahjar di Iran, lahir 27 November, 1942, warga negara Indonesia. (Foto kanan, Jakarta, Agustus 1995)
      Ibu dari seorang Putri usia 34 tahun, dan 2 Putra masing-masing usia 33 dan 25 tahun.
  • Putri, Raden Roro Laila Minouwati Ari Suryo-di-Puro, Insinyur Teknik Lingkungan, usia 34 tahun
    • lahir pada tgl. 9 November, 1965, di Köln, Jerman.
      Laila '97Lulusan insyur teknik lingkungan I.T.B. dengan Summa Cum Laude yang pertama diberikan oleh I.T.B. di fakultas tersebut, (Putri, foto kanan, Jakarta 1997)
      Bekerja dan 5 tahun kemudian penerima bea siswa penuh dan lulusan pasca sarjana dari University of Hawaii pada bidang managemen lingkungan serta teknik lingkungan dan perencanaan kota (City Planning). 
      Setelah bekerja di Indonesia, Canada, Belanda, Amerika, Jepang, ia bekerja sebagai salah satu pimpinan Proyek United States Agency for International Development (U.S. AID) Bidang Lingkungan Pemerintah Amerika Serikat di Kedutaan Besar U.S.A., Jakarta, dan kini bekerja di perusahaan patungan Indonesia-Amerika di bidang lingkungan.
  • Arto, N.Y., '99Putra, Raden Sidharto Reza Suryo-di-Puro, Diplomat, usia 33 tahun,
    • lahir pada tgl. 29 September, 1966, di Köln, German.(Foto kanan, N.Y. Juni, tahun 1999)
      Mantan Ketua Dewan Mahasiswa, lulusan Unpar, Bandung, di bidang Sosial Politik dan Hukum Internasional, dan M.A. di St. John's University di New York, menikah dengan 2 anak laki-laki berusia 3.5 dan 2.5 tahun. Cucu Rimba, Dewi & Cucu Sam
      Sejak tahun 1996 menjabat sebagai diplomat/Sekretaris II di P.B.B. (Perwakilan Tetap Indonesia Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations).  (Foto kiri Cucu Rimba, Menantu Dewi Dayat & Cucu Samudra, New York, Agustus 1999).
      Menjabat sebagai juru bicara/spokesman untuk Grup-77 (perkumpulan 130 negara gerakan non-blok) & Cina, di P.B.B. New York, N.Y., Amerika Serikat, dan pada tahun 1993 sebelum ke New York menjadi asisten Bapak Nana Sutresna (Duta Besar Keliling dan Direktur Eksekutif pada Gerakan Non-Blok [GNB] dibawah Presiden Soeharto) di Departemen Luar Negeri.

      Cyrus 23 tahun Tehran

  • Putra, Raden Cyrus Agung Suryo-di-Puro, Pengusaha, usia 26 tahun,
    • lahir pada tgl. 9 November, 1973, di Jakarta, mahasiswa di Universitas Pancasila dan kini pengusaha usaha komputer dan apartemen. (Foto kanan, Cyrus saat usia 23 tahun, Tehran, Juli 1997).
  • Ayah, Raden Mas Suryo-di-Puro, Tokoh dan Pendiri Deplu & Diplomat Senior, 
    • lahir tgl. 8 Agustus 1914 (almarhum)
  • Ibu, Raden Ayu Ambariah Arismunandar Suryo-di-Puro, lahir 1915 (almarhumah)
    • R.M. S. Suryo-di-Puro adalah salah satu pendiri dan perintis Kementerian Luar Negeri (kini Deplu).
      Salah satu pendiri dan perintis Radio Republik Indonesia (RRI).
      Veteran Pejuang Kemerdekaan R.I. Golongan ‘A’,
      Awal 1950 mejabat sebagai diplomat senior di Roma, Italia, di Ottawa, Canada, dan Chargé d’Affaires dan Duta di Tunis, Tunisia dan London di bawah Pemerintahan Presiden Soekarno,RA & RM Suryo London '65
      Mendapat Penganugerahan Satyalancana Karya Satya serta Perintis Kemerdekaan R.I., penghargaan serta penganugerahan dari berbagai negara lain.  (Foto kanan, saat mempimpin KBRI di London, tahun 1965).
      Pensiun pada tahun 1969, beliau di angkat kembali sebagai Duta Besar oleh Presiden Soeharto pada tahun 1970 untuk Kerajaan Afghanistan s/d tahun 1974. 
      1974 diangkat kembali berdasarkan Keputusan Presiden R.I. 17/K 1974 sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara sampai dengan wafatnya pada Oktober 1991 pada usia 76 tahun.
      Pejuang dan selichting (berkawan & seumur) dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX,  Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Sunaryo, Bapak Adam Malik (ketiga-tiganya mantan Menlu), Bapak Roeslan Abdulgani dan tokoh-tokoh nasional lainnya.

      R.M. Suyoto Suryo-di-Puro adalah keturunan Raden Mas Said, Raja Mangku Negoro I (MN I, dikenal sebagai Pangeran Samber Nyowo dan Pangeran Sapu Jagat) dari Solo (Surakarta), Jawa Tengah yang keturunannya berawal dari Sunan Kali Jogo dari  ke 9 Wali dikenal dengan Wali Songo.

*Pemerintah A.S. melalui surat Kedutaan Besarnya, cq. Kathryn M. Dunning, Educational & Cultural Exchange Officer,  pada bulan Des. 1986 meminta rekomendasi menunjuk beberapa calon penerima bea siswa Fulbright-Hayes.


WEB SITE PROMOTIONAL AFFILIATES
BUY DIRECTPAY DIRECTSHIPPED DIRECT BY THE SUPPLIER •

Created withNetScape Composer 4.x–4.7
Netscape
Try AOL NOW!  Get 250 Hours FREE!
Join AOL Now! Get 250 Hours FREE!
you@email.com Generic you@email.com
Online Translation, Now!
In Association with Amazon.com
Short URLs
Easy Submit
Credit analysis
Freeware
ZDNet Updates - The Easiest way to keep your PC up-to-date
 
Call Jakarta
Travelocity.com
Baby Home Page
 
.22¢ to Taiwan
.48¢ to India
.35¢ to China
Lowestmagazine prices on the Web
Free Useful Software
2000 Horoscopes
Free US InternetSerProviders Choose Your Newspaper.
Netscape 4.x How-to Tips
US Residents: Compare 4000 Cellfone Services & 200 Phone Products & Accesories
Converter: mph-kmh, lbs-kgs, ft-m, vol.torque, temp. etc.
Remove Startup Programs
Your Photos 3-D ScreenSaver
Modifiable Clipboard
Electronic Assistant PIM
FreeDay/Date/Mo/Yr Taskbar Clock
Official Consumers Electronics Association Site
Submit Your Tender/Offer
Other Interesting Useful Sites® Sites & Trademarks are Properties of their respective owners
  • Amazon.com Books
  • Baby Center
  • Barnes & Noble.com
  • 1,000 Magazines site
  • FogDog Sports
  • Computer Software
  • News iSyndicate
  • Free Credit Reporting
  • Anti-Aging - Getting old?
  • Join AOL World's Largest ISP Now & Get 250 Free Hours
  • Get YourNext VISA Card
  • Free Computer Tips
  • Education Aid & Info
  • PCWorld's Newsletters
  • Get free forwardable generic mailyou@email.com
  • PC Magazine's Free Utilities
  • Freeware Quality Software
  • Ask Live ZD Net (PC Mag) Experts Tech Questions
  • Find All the Latest Linux Downloads from CNet.com

  • 2000 Horoscopes
    .17¢-.19¢ to Jakarta NextCard Internet Visa
    Earth Is Our Home-Let's Take Care of It
    Ecology Library| Waste Watch|Why Files| Discovery Channel|Gen. Modified Foods
    3.9¢ US to US calls
    International calls save 70%
    .35¢ US to Philippines
    This is software space This is software space


    HEALTH NEWS

    Search MotherNature.com Search MotherNature.com
    Search MotherNature.com
    Shop By AilmentShop By Gender/Age • Naturopathic Medicines • Weight Loss • Supplements • Specialty Formulas • Minerals • Homeopathic • Teas• Herbs • Vitamins • Diet & Sports Nutrition • Pet Products • Coffee Products • Aroma Therapy Products • Bath & Body Products • Books From Mother Nature • Back & Neckcare • Osteopathy • Prenatal Supplements
    Note: Because of continual product changes you may not find the same named
    products above, but by entering their homepage and clicking their
    "Ask Our Personal Shopper" it will help you find exactly what you're looking for.


    LATEST NEWS

    JakartaPost
    Jakarta's Leading English Daily
     Financial Times | All Worlds Online Papers
     BBC| The Mirror
    LOGO KompasCyberMedia
    Indonesia’s largest circulation daily versi Indonesia | English | Dutch
    - Pos Kupang
    (WestTimor Daily)
    - Sriwijaya Post
    (East Java daily)
    - Banjarmasin Post


    FREE E-MAILER MAIL — CHOOSE YOUR LANGUAGE
    yourname@e-mailer.zzn.com


     Sign Up with e-mailer Mail
    ZZN Account
    Use Your Own Name without numbers - Lots of names still available - yourname@e-mailer.zzn.com - 12 languages, 4 more coming up
     First Name:  Last Name: